-30-

119 71 85
                                    

"Kamu kayaknya harus mikir berkali-kali buat ngelanjutin berteman sama orang kayak mereka, Val." Kenta berkata dengan iba. Cowok itu menghela nafas, dan menatap Val prihatin. "Masih banyak orang baik yang bisa kamu jadikan teman. Maaf nih, tapi lingkaran pertemanan Laras sama Dinda dari awal udah nggak cocok buat kamu. Kamu udah sampe bohong gini, tapi kayaknya mereka cuma anggap kamu 'teman' biasa."

"Nyesek sih, tapi emang gitu kenyataannya. Dari awal MPLS aku berusaha cari-cari temen, tapi kebanyakan dari mereka udah berkelompok. Tau kan maksudku? Temen-temen di kelas rata-rata dari SD atau SMP yang sama, bahkan ada yang dari tempat les yang sama. Jadi banyak dari mereka yang udah saling mengenal makanya bisa langsung temenan. Sementara di kelas nggak ada temen SD atau temen SMP-ku," jelas Val lagi. Kemudian dia teringat saat hari terakhir MPLS, dimana Laras dan Dinda panik karena salah satu dari mereka tertumpah Thai Tea, lalu dirinya memberikan tisu untuk mereka.

"Di hari terakhir MPLS, pertama kali aku ngobrol sama Laras dan Dinda. Waktu itu aku lagi sendirian di kelas, tapi kalo nggak salah ada seorang cowok yang di kelas juga, duduk di bangku belakang." Val mengetuk pelan jari telujuknya di bawah dagu, mencoba mengingat sosok siswa yang dia maksud.

"Itu aku."

"Nah, iya, maaf lupa. Terus mereka ngajak aku ke luar, dan disitu aku berusaha nyambung ke topik mereka meskipun aku nggak ngerti. Dan dalam seminggu aku ngerasa akrab sama mereka." Val tersenyum getir, walaupun matanya mulai berkaca-kaca. "Mereka sebenarnya teman yang baik. Mereka nggak pernah nyembunyiin sesuatu dariku. Contohnya mereka berdua emang pernah ngomongin keburukan aku karena temenan sama kamu di belakang, tapi kemudian mereka langsung ngomong langsung di depan pas ada aku. Laras dan Dinda itu teman yang jujur, blak-blakan dalam menyampaikan sesuatu, mereka nggak naif dan pembohong besar kayak aku."

"Kalau menurut pandanganmu mereka baik, kenapa mau berhenti temenan sama mereka?"

"Aku sendiri nggak tau...," kata Val.

"Val, aku nggak yakin kebohonganmu ini akan bertahan lama. Aku nggak kebayang kalau suatu saat mereka tahu semua kebohonganmu. Apa mereka masih mau jadi teman kamu? Kamu pasti tau jawabannya."

Val mengangguk sekilas, namun sebelum dia ingin menjelaskan lagi, mereka sudah tiba di depan pintu kelas. Tak perlu penjelasan dengan kalimat, mimik wajah Val sudah mengartikan semuanya.

ҩ ҩ ҩ

Val menghempaskan pantatnya di atas rerumputan hijau walau terpapar sinar matahari, disusul Kenta yang ikut menghempaskan pantatnya beberapa jengkal di sebelah Val. Tadinya mereka berniat masuk kelas, namun karena waktu istirahat yang tersisa cukup lama dan konsultasi permasalahan Val belum selesai, maka disinilah mereka sekarang, di halaman belakang sekolah yang sejuk meskipun sedang siang bolong.

"Kalau kamu masih kuat, lanjutin aja berteman sama Laras dan Dinda. Ambil positifnya dari mereka. Tapi, coba kamu jujur ke mereka. Peluang mereka masih mau berteman sama kamu emang kecil. Tapi itu lebih baik daripada suatu saat kebohonganmu bakal terkuak sama mereka sendiri, selain di cap pembohong mungkin kamu juga bakal di cap pengkhianat," tutur Kenta memberi respon atas cerita Val tadi. "Lagi pula, meskipun nggak ada yang mau temanan sama kamu, aku masih mau jadi temanmu. Sekarang aja kamu udah jujur ke aku, tapi aku masih temanan sama kamu, kan?"

"Makasih banyak, Kenta. Tapi aku masih belum siap buat jujur ke mereka."

"Iya, nggak masalah." Kenta tersenyum, lalu menoleh ke arah cewek di sebelahnya yang juga tersenyum lega. Sepertinya Val sudah merasa lebih baik sekarang. "Udah merasa lega kan setelah ngeluarin yang selama ini kamu pendam?"

"Iya, makasih, Kenta," kata Val senang, namun masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. "Aku mau cerita lagi... tentang Kak Arta."

"Silakan, aku pendengar yang baik. Keluarin aja semua yang masih mengganjal pikiranmu."

"Kak Arta... meskipun kami cuma pura-pura pacaran, tapi entah kenapa dia memainkan peran sebagai 'pacar' itu kerasa nyata banget. Padahal aslinya dia itu, kayak gimana ya... bisa dibilang Pangeran Kejam gitulah."

"Contohnya gimana?" Satu alis Kenta terangkat.

"Kan aslinya aku sering disuruh-suruh, dipaksa, bahkan perasaanku dipermainkan. Cuma di sisi lain, dia selalu ngelindungi aku, antar-jemput tiap hari, sampai nemenin aku di UKS waktu pingsan."

"Hm, wajar aja kalau menurutku, aktingnya bagus. Dia berperan sebagai 'pacar' kamu, dan emang itu sikap yang seharusnya ditunjukkan di depan publik biar orang-orang beneran ngira kalau kalian berdua itu pacaran."

"Pacarannya emang cuma main-main. Tapi aku ngerasa sikap romantisnya itu nggak murni akting, tapi pake perasaan juga. Soalnya aku sering dibuat baper sekaligus blushing."

"Val, you don't fall in love with him?"

"Umm... emang kenapa?"

"Maaf kalau lancang, ini cuma opiniku aja. Berdasarkan ceritamu, aku rasa Kak Arta tipe cowok yang suka mainin perasaan cewek di dekatnya. Kalau kamu emang benar jatuh hati sama Kak Arta, jangan sampai mata hatimu tertutup. Istilah 'cinta itu buta' berlaku buat kamu. Dia baik, iya. Dia pinter, iya. Aku sendiri sebagai cowok mengakui kalau dia juga ganteng. Kamu jangan sampai terbutakan oleh semua itu, aku khawatir kamu malah tambah diperbudak."

Apa yang dikatakan Kenta, semua itu benar. Arta sering menorehkan sembarang luka di hati Val, bahkan mempermainkan perasaannya. Namun Val yang sudah terlanjur mencintai Arta terlalu dalam, entah kenapa tidak bisa berpaling dari cowok itu.

"Aku emang jatuh hati sama Kak Arta dan Kak Arta sering mainin perasaanku. Rasanya sakit. Bahkan jika bisa memilih, aku lebih memilih buat jatuh hati ke cowok lain. Tapi hati nggak selalu sejalan sama keinginanku." Val menghela nafas. Untuk pertama kalinya, patah hati membuatnya cukup frustasi. "Aku bingung harus apa..?" kata Val desperate.

"Aku nggak cukup ahli dalam masalah percintaan. Tapi, aku boleh ngasih saran?"

"Boleh banget, Ken."

"Jangan pengaruhi pikiranmu dengan perasaan yang berlebihan. Daripada frustasi mikirin Kak Arta, coba deh kamu cari hobi atau ngelakuin sesuatu buat ngisi waktu luangmu. Dan kalau kamu masih mau ngejalanin hubungan kalian, lawan godaan buat melihat hubunganmu dari sisi manisnya aja. Aku harap saranku bisa membantu kamu."

"Oke, aku bakal coba." Seulas senyuman menghiasi wajah bulat Val. "Aku tuh sebenernya malu cerita kayak gini ke orang lain. Aku pikir kamu bakal ngerasa ilfeel atau gimana gitu, tapi reaksimu bikin aku merasa lega. Kamu malah ngasih masukan yang baik. Makasih udah mau dengerin curhatanku."

"Sama-sama. Jangan suka simpan masalah sendirian lagi, kalau ada masalah bisa cerita ke aku." Kenta memandang teduh. "Semangat! Hidup emang berat, tapi Tuhan nggak pernah biarin kamu sendirian menghadapi itu. Masalah nggak akan pernah habis, dan yang kamu perlukan cuma seseorang yang selalu ada buat kamu. "

Val menatap Kenta takjub, lalu mendadak teringat dengan seseorang yang membuatnya termenung. "Kamu mirip seseorang..."

"Seseorang? Siapa?"

Alba.

Val buru-buru menggeleng dan tersenyum kikuk. "Nevermind."

Beberapa detik kemudian bel berbunyi, menandakan waktu istirahat telah berakhir. Val dan Kenta pun segera bangkit dan berjalan menuju ke kelas. Setelah mereka benar-benar pergi dari halaman belakang sekolah, seseorang yang sedari tadi duduk manis di belakang pohon ikut bangkit dan kembali ke kelasnya.

***

4 Oktober 2020

Cause I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang