Prolog

542 85 7
                                    

Kamis, 30 April 2023

Menjadi petugas keamanan—polisi, tentara, sipir, atau satpam—patut memiliki mental yang kuat dan jiwa yang berani. Bertemu para perampok, pembunuh, preman, bahkan teroris, semua itu merupakan santapan yang tak bisa mereka hindari. Selain itu mereka juga pantang rasa takut ketika menyaksikan korban yang memiliki kondisi tubuh mengenaskan baik akibat peristiwa pembunuhan maupun kecelakaan. Dan satu lagi, mereka dituntut berani menghadap sosok hantu atau makhluk astral lainnya.

Hantu? Mereka itu bukan dukun, bukan paranormal. Mereka tidak punya indra keenam. Namun mereka tetap diperintahkan dari atasan untuk uji nyali di tempat yang sudah ditentukan dengan cukup mengandalkan mata kosong.

Pas sekali malam itu. Tengah malam, bulan bersinar terang, sunyi sekali. Sekelompok berseragam gelap berbondong-bondong memasuki bangunan gelap yang tampak seolah tak terawat. Ketika masuk ke dalam, udara pengap langsung menyerbu mereka. penerangan di dalam ruangan minim sekali. Sekilas tempat itu tampak kosong. Namun siapa sangka ada penghuni lain di dalamnya.

Suasana yang tepat sekali untuk menguji mental seseorang.

"Siapa yang akan kita buang hari ini?" tanya salah satu anggota pasukan berseragam gelap.

"Menurut data yang kita dapat siang tadi, orang itu atas nama 'Wijaya'. Dia satu-satunya seorang pembunuh misterius yang ditahan di tempat ini," jawab orang yang berjalan paling depan.

"Bukankah si Wijaya sudah mati menurut berita?"

"Itu hanya pengalihan isu agar kasus segera ditutup. Jadi masyarakat tidak akan membahas orang aneh itu lagi."

"Memang kenapa dengan orang itu?" tanya anggota yang lain.

Orang yang memimpin jalan menghela nafas dan berhenti sejenak. "Nanti saya bicarakan setelah urusan ini selesai. Ayo bergegas!"

Kemudian kelima orang itu kembali berjalan, tak sampai dua puluh langkah. Si pemimpin jalan berhenti dan mulai membuka gerbang besi yang berbunyi nyaring. Sementara para rekan di belakangnya bisa melihat langsung sosok hantu di balik gerbang itu.

"Jangan lihat kesana... jangan lihat...," salah satu anggota berbisik penuh tekad. Yang lain ada yang beristighfar dan berdoa agar dilindungi dari sosok menyeramkan yang akan segera mereka hampiri.

Setelah gerbang besi terbuka nyaring. Si pemimpin jalan mulai menyapa seorang yang sudah dianggap sebagai "hantu".

"Pak Wijaya," dia mulai berucap, "bersiaplah untuk eksekusi terakhir malam ini. Semoga amal baikmu diterima di sisi Tuhanmu."

Tidak ada respon dari seseorang yang menyerupai hantu. Dia hanya duduk selonjoran dengan tenang. Tubuhnya sangat memprihatinkan, tampak kurus dan kaku layaknya orang sudah mati. Sejumlah bagian kulit yang terbuka masih terlihat jelas, dan dipenuhi banyak bekas luka di sekitarnya. Wajah orang itu sangat pucat. Kedua lingkar mata bengkak nyaris menghitam. Rambutnya panjang tak teratur, namun masih belum layak disebut gimbal. Dan jangan percaya apabila orang itu sudah mandi. Semua orang disana sudah mendapat jatah bau badan orang itu dalam waktu singkat.

"Hei, kenapa yang lain diam saja?" si pemimpin melirik ke belakang. "Ayo bawa dia!"

Sempat terjadi perdebatan kecil, para anak buah mulai dorong-dorongan untuk saling menghindar, merasa enggan untuk patuh. Namun setelah suara dehem keras dari si pemimpin, akhirnya tiga diantaranya memberanikan diri.

Tidak semudah itu, karena mereka bertiga sedang berurusan dengan seorang "hantu" untuk pertama kali. Tetapi tidak dengan si pemimpin.

"Kalian angkat tubuhnya. Saya borgol dulu tangannya.

Dengan sedikit dorongan si hantu yang bernama "Wijaya" mulai berdiri. Dan di tengah upaya tersebut,

"Aah...!"

Salah satu anak buah yang memberanikan diri tadi nyaris menjatuhkan si hantu.

"Duh, ada apa lagi?" Si pemimpin keheranan.

Orang itu menggeleng. Wajahnya tampak pucat. "Itu pak... itu... lehernya...."

Si pemimpin mengamati leher Wijaya. Kemudian mengangguk maklum. "Ya sudah, usahakan jangan lihat lehernya."

Dan orang itu pun patuh. Tentu saja, siapa lagi yang tidak mau melihat bekas luka dalam di leher akibat sebuah sayat pedang setelah sempat melakukan percobaan eksekusi mati dengan cara dipenggal beberapa bulan lalu.

Setelah Wijaya berhasil didirikan, si pemimpin mengambil sebuah borgol dari saku celananya, yang selanjutnya dipasang di kedua gelang tangan Wijaya. Barulah ia memerintahkan semua anggota untuk keluar dari sel penjara.

----00----

Cukup lama, mereka bersusah-payah menggiring Wijaya yang jalannya pincang karena nyaris tak pernah berdiri dan berjalan. Namun akhirnya mereka tiba di dermaga kecil dimana sebuah kapal motor cepat menanti kedatangannya. Lepas masuk dalam kapal, mereka akan segera menuju tujuan berikutnya.

Tak sampai satu jam, semua daratan sudah tidak tampak lagi, menyisakan lautan lepas yang sedikit bergelombang. Si hantu bernama Wijaya dipaksa berdiri oleh si pemimpin tadi, diiringi dua anggotanya yang menyeret sebuah benda berbobot. Dan benda itu tersambung tali tambang dengan tubuh Wijaya.

Si pemimpin menggiring Wijaya tepat di bibir kapal. "Ini satu-satunya cara agar bapak bisa dipanggil oleh yang Kuasa. Ucapkan selamat tinggal kepada dunia ini."

Tanpa menunggu respon dari Wijaya, si pemimpin langsung mendorong tubuh Wijaya tanpa merasa berdosa. Tak luput benda berbobot yang diseret dua anggota lain mengikuti arah jatuhnya si hantu. Bahkan disaat lautan sudah menelan habis keduanya, kapal motor berpamitan begitu saja.

Tenggelam, itulah yang dirasakan Wijaya. Ia merasa hidupnya sudah tidak berguna. Ia merasa orang-orang begitu kejam, menuduhnya sebagai seorang penjahat tanpa ampun. Ia sama sekali tidak pernah merampok, menculik manusia dan hewan liar, apalagi mencuri uang negara. Tetapi dirinya langsung diberi hukuman mati karena satu perkara, menjadi seorang dukun yang melakukan pembunuhan berencana satu keluarga berkedok kutukan maut dan berujung peristiwa kecelakaan. Padahal dia sendiri tak melakukan pembunuhan secara langsung pada korban.

Wijaya sudah tak berdaya, air laut memaksa tubuhnya dilahap habis. Benda bobot yang terikat dengan tubuhnya menarik mengikuti kehendaknya sendiri. Semakin lama, warna air terlihat mulai gelap. Ia tidak yakin apakah dirinya akan bertemu dengan yang Kuasa. Mustahil ia akan dipertemukan saat ini di dalam air. Namun ia percaya, seseorang atau makhluk lain akan menemui dirinya, dan barangkali menyelamatkannya.

Dan ternyata kepercayaan itu berbuah manis, seorang manusia datang padanya. Wijaya dipertemukan dengan sosok wanita cantik, berpakaian antik nan elegan—mengingatkan pada pakaian adat kerajaan Jawa masa lampau. Sosok itu terlihat berenang dengan indah kepadanya, bergerak bebas meskipun sedang di dalam samudra. Tatapan mata wanita itu membuat Wijaya mati rasa sekaligus terpikat. Wijaya sangat yakin, sang Kuasa bukanlah perempuan—sudah tentu orang-orang berlomba-lomba memuji dan menyembah-Nya seandainya terungkap demikian.

Saat itu pula, Wijaya tidak merasakan genangan air sama sekali.

----00----

Pertama terbit/rilis pada : Sabtu, 09 Januari 2021

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pertama terbit/rilis pada : Sabtu, 09 Januari 2021

Didi(k) Everything is RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang