Bag 7 - Beware

147 37 0
                                    

SATYO POV

"Kau dari mana saja setiap malam? Kenapa selalu datang saat jam segini?"

Aku menoleh ke arah tempat tidur tingkat, tepatnya di kasur bagian atas yang hanya ditempati Rudi saat ini. Dia tampak menutup muka dengan bantal, dan sesekali mengeluh. Aku rasa dia tidak bisa tidur karena kami bertiga.

Terdengar Andre mendesah. "Nongkrong sama teman. Itu aja."

"Sama siapa kalau begitu? Cuma orang berandal dan para preman yang mau begadang sampai subuh," geram Jefri.

"Bagaimana dengan orang-orang tua yang selalu keluar malam di pos atau pondok?"

"Itu di desa, Englis. Di kota tidak ada karena sudah ada polisi yang patroli." Jefri mendengus pelan. "Dan... orang seperti kau mau bergaul sama orang tua?"

"Datang aja ke kampus mulai jam delapan malam. Gua biasa mampir disana sampai malam."

"Kemarin aku pulang kuliah jam delapan malam dan sudah tidak ada siapapun termasuk dirimu."

Andre menatap tajam. "Itu berarti elu lihat saat tidak semua teman gua berkumpul. Seharusnya tunggu sampai jam sembilan."

"Baik, besok aku tunggu disana sampai jam... sepuluh. Kalau ucapanmu benar, maka aku akan percaya." Sementara Jefri mencondongkan mukanya di hadapan Andre. "Dan aku juga akan ikut berkumpul bersama kau dan teman geng-mu."

"Memang elu tahu teman-teman gua bagaimana? Mereka itu berbeda jauh dibanding elu."

"Oh, kau menantangku ya? E-lo pasti bakal kaget saat go we tunjukkan sifat aslinya," ucap Jefri seolah ditantang, tetapi...

Andre tertawa sinis. "Omong bahasa gaul begitu saja masih salah. Makanya jangan terlalu lama terjebak di desa. Nah," dia mulai menatap diriku, "You should take care of him instead. Keknya mentalnya lebih gila dari gue. Untung gue ga sampai kaget habis lihat reaksinya."

Kemudian Andre berjalan santai ke tempat tidurnya tanpa menghiraukan Jefri.

"Eh, si Englis. Sombong kali kau ini ya. Awas nanti!" Jefri sempat marah, sebelum akhirnya memandang diriku. Lalu ia mendekat padaku. "Mimpi buruk lagi, Satyo?"

Aku menggeleng. Sejak tadi aku belum tidur.

"Masih bisa tidur?"

Aku menggeleng lagi.

Jefri mengangguk seolah paham. Lalu bergegas mengambil sesuatu di salah satu rak di samping tempat tidurnya. Tak lama, ia kembali dengan sebuah obat. "Nih, untukmu. Sebaiknya kau minum sekarang."

Aku tercenung. Dari mana Jefri mendapatkan itu, lagi? "Itu obat tidur dari ibu kos?"

"Eh, bukan. Itu... aku beli sendiri." Jefri tersenyum. "Ini obat yang sama dengan yang aku minta dari ibu kos. Tapi kau sendiri lebih membutuhkan ini." Ia mengambil tangan kananku untuk selanjutnya diterima sebungkus obat yang tampak berisi sepuluh tablet.

"Tapi ada resep dokter?" tanyaku ragu.

"Kata yang punya apotek, itu hanya boleh diminum sekali dalam sehari, dan itu pun saat kau merasa terganggu atau stres berat," jelas Jefri.

Aku mengangguk, hendak berbalik. "Itu berapa harganya? Aku yang bayar—"

"Jangan! Itu tidak perlu." Jefri menahan tanganku. "Itu... anggap saja sedekah dariku."

"Sedekah kenapa?"

"Sedekah karena aku masih bertahan dari orang-orang bermasalah yang menghuni kamar ini."

Aku kembali merasa bingung. "Jadi aku termasuk orang bermasalah bagimu?"

"Seharusnya iya. Tetapi khusus kamu, aku maafkan. Aku...," kata Jefri memelan, "aku hanya ingin masalah tidurmu segera berakhir."

Didi(k) Everything is RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang