Bag 17 - Telling the Truth

118 26 0
                                    

SATYO POV

Senin, 09 Oktober 2023.

Latar waktu kembali mundur sejenak ...

Sudah tiga kali berturut-turut aku mendapati serangan langsung dari sosok hantu yang merupakan korban yang pernah aku tusuk dengan pisau—walaupun akhirnya diselesaikan oleh pelaku lain yang bersamaku. Dan sekarang hantu yang bernama Priyanto—aku awalnya mengetahui nama aslinya dari berita—menerorku secara langsung, bukan lewat mimpi lagi. Dan setiap kali bertemu, hantu ini hanya menginginkan aku untuk mati.

Kenapa dia ingin membunuhku? Balas dendam?

Setelah berpikir panjang, aku memang tidak sepenuhnya pembunuh. Aku hanya menghentikan aksi pak Priyanto saat itu. Sang hakim benar, yang sungguh membunuh orang itu adalah pak Wijaya. Dia menyelesaikan proses penderitaan yang singkat setelah aku melukai pak Priyanto, dengan sangat keji. Itu sebabnya dia layak dihukum mati. Tetapi kurasa itu tidak cukup bagi si korban. Aku masih bernafas di dunia ini. Aku membantu si pelaku utama. Mungkin itu sebabnya pak Priyanto menjadi hantu, mencariku, lalu hendak mengakhiri hidupku.

Bukankah seperti itu yang kerap terjadi pada kisah horor? Seseorang mati secara tidak wajar, lalu hidup kembali dalam wujud tak kasat mata untuk membalas perbuatan dari pelaku. Apakah akhir cerita aku juga bakal seperti itu?

Atau... aku melewatkan sesuatu?

Sekarang sudah masuk tengah malam dan aku tidak bisa tidur, seperti biasanya.

Aku turun dari tempat tidur tingkat—tempatku di bagian bawah—dan meraba sesuatu di kolong-nya. Setelah aku tarik, benda yang muncul adalah sebuah map plastik yang warnanya sudah agak luntur.

Tanpa mengganggu teman sekamar yang sedang tidur, aku membuka map tersebut. Ternyata ada sebuah buku catatan yang termakan usia. Aku pegang dengan hati-hati dan mengamatinya sejenak. Aku merasa familiar dengan buku ini.

Lanjut membuka lembar pertama, aku berpikir sejenak. Sepertinya aku pernah mendengar kisah ini, ucapku dalam hati. Kubaca sekilas isi dari halaman itu.

Dari 1891, Bramantijo, coecoe Ken Suoebagijo, ditendhang jaran ditumpaki Moenir, coecoe lainnya. Ratih Adjeng, hidoep dari serangan jaran.

Tiga tahoen berlanjoet, 1894, Loekito ditendhang jaran ditumpaki Tuminah, sekaroeng emas tiada terbang.

Tiga tahoen lagi, ...

Aku menemukan banyak kata "tiga tahun" dan "kuda" berulang-ulang, sehingga aku lewati saja sampai beberapa lembar. Aku simpulkan bahwa orang-orang yang tertulis mati karena ditendang kuda yang mengamuk.

Sebentar, aku menyadari sesuatu.

Ini buku orang-orang yang mati dikutuk di desa itu...?

Wijaya?

Aku terus membaca buku itu. Sekitar abad ke-20, kematian orang-orang itu bukan karena seekor kuda yang dinaiki manusia, melainkan diganti dengan kendaraan masa lampau. Mulai dari delman, gerobak, bahkan mobil klasik tempo dulu. Aku juga menemukan beberapa kejadian istimewa selama kutukan tersebut. Meliputi aksi bunuh diri satu keluarga, perang yang sempat meluluh-lantakkan desa sebelum dan sesudah kemerdekaan, atau pembunuhan antar-kerabat. Kejadian itu justru mempercepat habisnya seluruh generasi keturunan Subagyo, yang tertulis menjadi tujuan utama kutukan itu.

Aku yakin aku pernah membacanya dulu. Ini buku pemberian Wijaya.

Apakah orang yang aku temui di ATM bank adalah kerabat Wijaya? Wajahnya sekilas agak mirip, seingat aku.

Sebenarnya ada ratusan daftar nama, waktu, dan kronologis terjadinya kematian pada orang dari keturunan tersebut. Namun dengan membacanya satu per satu akan memakan waktu, apalagi sekarang sudah hampir jam satu pagi. Jadi, aku langsung membuka halaman paling belakang dari buku catatan itu.

Didi(k) Everything is RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang