Bag 14 - Mencoba Mati

118 35 1
                                    

AUTHOR POV

Sampai di rumah menjelang siang, Didik melihat ada empat orang yang tampak di depan rumahnya. Semuanya mengenakan seragam yang sama, biru dan ada setrip kuning di beberapa bagian. Dua diantaranya sedang berdiri di dekat tiang listrik depan rumahnya. Penasaran, Didik segera berjalan menuju rumah.

Entah mengapa jalan kakinya agak pincang. Habis dari manakah dia?

"Ah, jadi ini orang yang punya rumah?" tanya salah satu petugas.

Didik berhenti dan mengamati mereka semua satu per satu. "Iya, saya sendiri."

"Loh, kamu tinggal sendiri disini? Bukannya pemilik rumah ini atas nama Suhendro?"

Mungkin itu nama suami bu Kartini. "Aku kenal pemilik rumah. Dia memang sudah lama tidak tinggal disini. Jadi saya yang menempatinya sekarang."

"Oh. Begini, kami dari jasa listrik memberitahu bahwa pemilik rumah ini tidak membayar listrik sejak hampir enam bulan," jelas petugas itu.

"Eh. Apa? Benarkah?" Didik terlihat kaget. "Aku pikir pemilik rumah belum mengetahuinya."

"Benarkah? Kalau begitu dimana si pemilik rumah berada sekarang?"

"Kalau itu saya tidak diberitahu. Tetapi wanita bernama bu Kartini, yang juga tinggal di rumah ini, memberitahu saya kalau yang bayar listrik untuk rumah ini diserahkan kepada mertuanya. Saya tahu alamatnya."

"Baiklah, kami akan mendatangi rumah mertuanya setelah ini. Bisa tuliskan alamatnya disini?" Petugas itu membalikkan kertas berisi tabel yang sulit terbaca.

Didik menuliskan alamat yang dia hafal, bahkan menyertakan ciri-ciri rumah—petugas itu sempat tertawa kecil.

"Terima kasih kalau begitu. Kami segera pamit." Petugas itu memanggil tiga rekannya. "Masuk ke mobil, kita akan pergi ke rumah lain!" Lalu ia kembali menghadap Didik. "Tapi mohon maaf, karena tidak membayar listrik maka rumah ini saya padamkan sampai uang yang dibayarkan—entah siapa yang membayarnya—masuk kedalam data kami."

----00----

Didik masuk ke dalam rumah dengan jalan pincang. Ia langsung duduk di kursi ruang tamu. Ia mengecek bagian kakinya yang tampak lebam, ketika dipijat rasanya nyeri sekali. Ia juga mengecek tangan kanannya, ada beberapa luka gores dan salah satunya memanjang dari lengan sampai siku. Karena ia merasa sangat lelah, badannya ia baringkan di kursi itu hingga akhirnya terlelap.

Keluar dari kamar mandi menjelang malam. Penampilan Didik hari ini tampak berubah. Kumis dan janggut sudah sangat tipis. Kulitnya juga bersih—tentu saja masih menyisakan luka yang barusan. Rambutnya juga terlihat segar setelah keramas dengan sampo yang dibelinya.

Usai berpakaian, ia menuju ruang di sebelah kamarnya yang berupa gudang. Ia mengambil sebuah kotak dan membongkar semua isinya. Setelah beberapa lama akhirnya ia menemukan kumpulan lilin, dan dua lentera kecil peninggalan ayahnya.

Sampai malam hari, Didik sudah menaruh dua lilin di ruang tamu. Karena ada satu tamu lagi yang datang.

"Tumben mati lampu," ucap pemilik suara yang bernama Manti.

"Entah, mungkin mertua pemilik rumah tidak membayar."

"Serius? Memangnya mereka sudah mengabari? Atau kamu sendiri yang tidak menanyakan mereka."

"Setiap bulan aku ke rumah mereka. Dan mereka tidak menyinggung apapun tentang membayar listrik." Didik merasa heran.

"Kalau begitu tanyakan sama yang punya rumah. Masih ingat nomor ponsel, kan?"

Didi(k) Everything is RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang