Bag 2 - Keluh dan Resah

237 55 0
                                    

SATYO POV

Jumat, 22 September 2023.

Malam hari datang lagi.

Aku yakin sudah tidur sejak jam sepuluh malam. Sementara para teman sekamar—kecuali Andre yang keluar entah kemana—masih mengerjakan tugas perkuliahan saat itu. Namun ketika sekarang aku mulai membuka mata, jarum pendek pada jam dinding tak pernah segaris dengan angka sebelas. Dan di saat yang sama kedua temanku sudah tertidur.

Aku gelisah. Padahal suhu tubuhku terasa normal-normal saja. Pusing pun tidak kurasakan. Namun satu hal sederhana yakni menutup kedua mataku tidak dapat teratasi. Perlukah aku membeli obat tidur sekarang? Tetapi ayah bakal curiga seandainya aku memiliki obat itu jadi aku patut menyembunyikannya..

Dengan putus asa aku sandar punggungku di salah satu tiang tempat tidur bertingkat dua. Bicara soal tempat tidur, kamar ini punya dua tempat tidur bertingkat dua, saling sejajar—anggap saja ada sisi kiri dan kanan. Untuk sisi kanan ditempati olehku di kasur bawah dan Andre di kasur atas. Sedangkan di sisi kiri ditempati Rudi di atas dan Jefri di bawah. Sebenarnya aku jarang melihat bagaimana tingkah ketiga teman sekamar saat tidur, apalagi Andre yang tidur di atasku—sekarang orangnya sedang tidak disini. Namun ketika memperhatikan Jefri dan Rudi tertidur, entah mengapa aku jadi ikut mengantuk. Sepertinya cara ini dapat mengatasi masalah kantuk. Aku amati terus keduanya secara bergiliran—eh, bukan berarti aku mulai tertarik dengan mereka. Dan tanpa berganti posisi aku berhasil istirahat dengan tenang. Napasku pelan dan teratur.

Dan begitu aku tidak dapat melihat sekelilingku...

Diam, jangan berisik. Biarkan saja aku begini.

Dan begitu aku—

Argh... kenapa tubuhku ini mendadak kaku? Kulitku terasa perih. Sekali gerak kedua tanganku terasa terjepit. Begitu juga kedua kakiku yang mati rasa. Ada apa denganku? Kedua mataku bahkan sulit sekali terbuka.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Setelah perjuangan keras aku lampaui, tiba-tiba kamar langsung berubah terang-benderang. Aku nyaris buta sampai akhirnya itu tidak terjadi. Aku berusaha melihat sekeliling. Tebak apa yang terjadi, kamarnya memang berwarna putih terang. Padahal benda perabot lain seperti lemari, kasur tingkat, jendela, dan pintu, tidak berubah. Tatapan mataku mencoba ke arah jam dinding—beruntung masih di tempat yang sama. Ternyata sudah jam tujuh pagi.

Kucoba bergerak lagi dan... ah sakit sekali! Aku tidak menyadari bahwa tubuhku sedang babak belur. Seluruh tubuh rasanya nyeri juga perih. Pakaianku juga berubah total, semuanya serba putih mirip pakaian untuk pasien rumah sakit. Tetapi bentuknya sama dengan pakaianku sebelum tidur, kaos berlengan panjang dan celana panjang. Aku berjuang keras hanya untuk duduk. Setelah berhasil aku tertegun.

Dimana aku sekarang?

Kucoba menoleh meski leher terasa dicekik. Aneh sekali mengapa kaca jendela kamar jauh lebih buram dari biasanya. Semakin tak percaya kucoba untuk berdiri—

Ah! Sekejap saja aku terjatuh. Tulang kakiku bahkan tidak dapat menjawab antara sakit dan sangat sakit.

Bagaimana mungkin aku tidak bisa berdiri, bahkan berjalan?

Itu sebabnya ada dua tongkat bersandar di samping tempat tidur—aku mengabaikannya karena aku kira itu milik orang lain. Lagi-lagi dengan sekuat tenaga aku raih benda itu dan kembali berdiri. Ya, sekarang kedua tongkat sudah bertengger di dua sisi tubuhku. Dan dengan bantuan tongkat itu aku mulai berjalan. Rasanya berat sekali berjalan pincang. Ya ampun, dimana teman sekamar? Kenapa mereka sudah tidak ada?

Aku sampai di depan pintu kamar yang tertutup. Tangan kananku sampai gemetar hanya untuk menyentuh gagangnya. Kemudian aku memperhatikan, sejak kapan punggung tanganku tumbuh rambut yang lumayan jelas terlihat dari jauh? Iseng aku masukkan tangan yang lain kedalam bajuku. Aku nyaris tersentak karena aku merasakan kumpulan rambut yang lebat di bagian dadaku. Tidak mungkin aku berubah menjadi monyet atau gorila. Ketika aku menyentuh dagu, ternyata aku sudah berjanggut. Bahkan rasanya sudah tumbuh melingkar wajah. Aku harus memastikan di cermin.

Didi(k) Everything is RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang