Bag 21 - Trying to be Fine

105 33 0
                                    

SATYO POV

Selasa, 17 Oktober 2023.

Hingga kini aku masih tidak bisa bertemu Didik dalam mimpiku. Gangguan insomnia kembali kambuh, seperti berbulan-bulan lalu.

Sekarang masih jam sebelas siang, seharusnya aku berada di kampus. Namun dosen yang akan masuk kelas kami hari ini berhalangan hadir karena sedang menghadiri acara pribadinya. Dan tidak ada lagi jam kuliah di kelas kami setelahnya. Daripada tidak berbuat apa-apa di kampus, aku segera pulang ke rumah kos. Lain halnya dengan Rudi, dia langsung mampir ke kelas lain yang beda jurusan dan barangkali bertemu dengan temannya.

Halte yang aku tempati saat ini sangat sepi. Kebetulan ini bukan waktunya istirahat bagi pekerja kebanyakan atau pun waktu pulang sekolah. Angkutan umum mana yang akan berhenti disini pada situasi seperti ini?

Kulihat sebuah taksi berhenti di depan halte. Aku terpaku ketika Caca, dengan seragam kerjanya, kurasa, tampak keluar dari kendaraan umum tersebut. Ia juga membawa sebuah kardus. Aku pikir itu pasti berat.

Ketika dia menemukan diriku, aku spontan melambaikan tangan ke arah dia. Caca berjalan kemari dengan senang hati.

"Hei, Ari. Tumben sudah disini, pas jam segini juga," sapanya ceria seperti biasa.

Aku segera berdiri. "Apa yang kamu bawa?"

"Kosmetik rumahan. Mau dibawa ke supermarket tempat aku kerja."

"Boleh aku ikut, eh...." Aduh, kenapa aku bilang...

Caca terdiam sejenak. Lalu, "Kenapa enggak? Ayo kalau begitu!"

Terlanjur memutuskan, aku benar-benar menemani Caca menuju tempatnya bekerja. Satu sisi aku penasaran dimana dia bekerja.

"Omong-omong, apa jaraknya jauh dari halte tadi?" tanyaku.

"Tidak, hanya lima menit jalan kaki."

Aku lihat Caca masih membawa kardus yang isinya barang kosmetik menurut dia. "Aku bisa bawakan kardus itu."

"Eh, tidak apa-apa. Aku masih kuat bawa barang ini kok," ucapnya sungkan.

"Tapi kardus itu terlihat besar, pasti isinya banyak. Sebentar." Dengan sigap aku menghentikan dia lalu mengambil kardus itu dari tangannya. "Aku saja yang bawa. Kamu tunjukkan jalannya."

Caca tampak sedikit tersipu, lalu kembali berjalan mendahului aku.

Ternyata isinya memang sedikit berat. Dia pasti capek kalau membawa barang itu sendirian.

"Ari, kamu seharusnya tidak perlu sering membantuku. Sejak kita berdua bebas dari penculikan dulu, kamu seharusnya juga tidak mengkhawatirkan aku," kata Caca sedikit lesu.

"Kenapa?" Aku kembali berhenti. "Kita berdua saat itu jadi korban. Aku tidak mungkin membiarkan kamu ada disana kalaupun aku bisa keluar sendiri. Selain itu, kamu seharusnya jangan takut padaku. Aku tidak akan melukai dirimu."

"Aku tahu itu. Tetapi kamu sudah berbuat banyak untukku, bahkan setelah penculikan itu."

"Kamu tahu, aku tidak akan bersikap baik padamu seperti ini kalau kita berdua tidak saling bertemu di tempat kita diculik dulu." Aku menatapnya lekat. "Aku tidak masalah kalau ditunjuk menjadi malaikat penjaga untuk dirimu seorang."

Dia lagi-lagi tersipu, lalu kembali berjalan. Aku juga mengikutinya, tentu saja.

"Aku penasaran bagaimana kamu bisa diculik waktu itu?" tanyanya kemudian.

Aku menghela nafas sejenak. "Dulu, aku bersepeda menuju rumah temanku. Terus aku melihat pisau aneh di jalan yang diapit persawahan. Aku pikir itu adalah benda buangan saja. Tiba-tiba muncul dua orang berpakaian hitam, lalu mereka menculik aku dan dibawa dengan mobil. Aku tidak bisa lihat apa-apa, atau mungkin aku sudah pingsan saat itu.

Didi(k) Everything is RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang