Bag 35 - Hidup dan Mati #2

69 28 0
                                    

AUTHOR POV

Sudah waktunya untuk menentukan bagaimana kutukan akan berlangsung. Wijaya yang kini berpakaian tipis serba hitam namun tertutup—termasuk kain syal di lehernya—sudah berdiri tenang di depan pohon besar tengah hutan, tempat dimana keris menancap kuat di gundukan tanah di sebelah pohon itu. Sinar matahari sudah menyinari senjata kuno itu hingga mengeluarkan kilau yang terang.

Dan penyambutan kepada arwah leluhur pendahulunya baru selesai diucapkan.

"Menika kula pasrahkan segala-ipun dhumateng mulia Kanjeng Tari. Mugi-mugi panjenengan menerima kesempatan kulo kagem akhiri kutukan ingkang sampun berjalan sak-kathah-kathahipun tahun. Nyuwun doa lan pengampunan dumatheng panjenengan atas tumindak kulo mari iki."

Wijaya membungkuk dan memberi salam hormat ke arah pohon besar. Setelah itu ia kembali berdiri tegak. "Proses kutukan sedang berlangsung. Aku harus pergi ke lokasi sebelum target datang."

Dengan cepat Wijaya pergi meninggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba lehernya merasa perih seolah hampir copot.

"Ah, sakit!" rintihnya.

Ternyata rasa perih itu menjalar di setiap luka yang terdapat di tubuhnya, sehingga menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Wijaya pun ambruk seketika dan mulai menjerit karena tak sanggup menahannya.

Mustahil dia akan sampai di lokasi, sampai kapanpun.

----00----

Di tempat yang berbeda, seorang wanita kaya yang berpakaian jas dan celana hitam buru-buru keluar dari rumahnya yang terbilang luas. Sebuah mobil putih tampak berdiri gagah di halaman rumah itu. Dan wanita itu langsung masuk ke dalam.

Raut wajahnya masam, terlihat kedua matanya bengkak. Nafasnya tak teratur seakan-akan ia habis dikejar setan. Wanita itu sempat periksa mobil yang sudah berisi banyak barang bawaan. Setelah itu ia langsung menyalakan mobil dan tancap gas agar segera meninggalkan rumahnya itu.

Yang dia inginkan adalah, pergi sebelum terlambat.

----00----

Ruli yang bersepeda membonceng Didik mulai melewati bekas pasar lama. Sebenarnya itu bukan salah satu tujuan mereka hari ini. Tetapi entah mengapa Didik memaksa berhenti di depan tempat itu.

"Kita tidak akan kesana, Didik. Kau mau cari apa memang?" Ruli terdengar kesal.

"Rul, kau masih khawatir dengan hari kutukan? Katamu aku akan selamat kali ini?"

"Tetap saja aku harus menjauhkan kau dari sini. Ayo kita jalan lagi!"

Didik kembali menghentikan Ruli. "Tidak, aku ingin melihat siapa yang akan mati disini."

"Kau sudah gila?" Ruli turun dari sepeda lalu berbalik—Didik tetap duduk di boncengan sepeda. "Situasi bisa berubah sewaktu-waktu. Jangan membuat masalah lagi!"

"Rul, jujur sampai sekarang aku tidak percaya dengan pak Wijaya itu." Didik pun turun dari sepeda. "Dan aku merasa ada pemancing target disini. Kalau targetnya aku, maka pemancing...,"

"Apa? Aku? Kebetulan mobil tidak lewat sekarang jadi ayo cepat kita pergi dari sini!"

"Oh iya, apa kau bisa belikan air di warung dekat sini? Aku haus sekarang," pinta Didik tiba-tiba.

"Oh, minta air saja 'kan? Oke." Ruli menuntun sepedanya. "Kamu harus ikut juga kalau begitu."

"Tidak, ah tempatnya tidak jauh kok. Harusnya kau sendiri tahu tempat itu 'kan?"

Didi(k) Everything is RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang