Bag 20 - Apa Ini Nyata?

116 32 4
                                    

SATYO POV

Sebentar... aku harus mulai cerita dari mana ya?

Ah, pertama ketika mencari tahu cara masuk kedalam mimpi yang sama. Aku sudah membaca beberapa buku, seperti tentang mimpi secara ilmiah, peristiwa yang terwujud dari sebuah mimpi, bahkan cerita-cerita fiksi yang setidaknya mirip dengan permasalahan aku saat ini.

Mau aku jabarkan satu-satu? Sebaiknya jangan, waktuku tidak akan cukup.

Setengah jam lagi aku akan masuk jam perkuliahan berikutnya. Namun tak satupun informasi yang sesuai dengan keinginanku. Takut terlambat masuk, aku segera mengembalikan buku-buku yang kuambil dari berbagai rak di penjuru perpustakaan berjumlah tiga puluh buah. Terkadang aku merasa seperti mahasiswa yang sibuk dan rajin.

Jam dua siang, aku berpapasan dengan Erni tepat saat aku keluar dari perpustakaan.

"Mas Ari sudah keluar dari perpus ya?" tanya Erni. Ada dua teman perempuannya juga di sampingnya.

Aku mengangguk—sedikit bergumam—lalu kembali berjalan berlawanan arah dengan perempuan itu. Iya, begitu saja.

Tak lama, aku sempat berpikir apakah Erni adalah salah satu target pak Wijaya yang tersisa selain Didik—perihal kutukan yang terjadi di kampung halaman aku. Tetapi itu akan aku sambung belakangan.

Jam perkuliahan pun berakhir. Sebelum keluar kelas, Rudi mencegat diriku duluan.

"Satyo, mau kemana?" tanya Rudi.

Aku menaut kedua alisku. "Pulang, tentu saja."

"Bisa ikut aku sebentar? Aku butuh seseorang untuk menemaniku."

"Kalau begitu kemana?" tanyaku kemudian.

"Nanti aku kasih tahu." Rudi melihat sesuatu di bawah. "Eh, kenapa kau bawa payung?"

Dia melihat sebuah payung di tanganku. "Aku mau kembalikan ini."

"Ah, aku ikut kalau begitu."

"Jangan. Sebaiknya kau pesan taksi atau ojek dulu."

"Kita tidak akan naik taksi. Jalan kaki," ucap Rudi memberitahu.

Tetap saja, aku tidak ingin dia ikut denganku untuk mengembalikan payung. "Bisa belikan aku minuman yoghurt?"

----00----

Aku sampai di halte depan kampus yang bisa aku kunjungi hampir setiap hari. Kulihat Caca sudah duduk disana mendahului aku.

"Ah, Caca. Kamu sudah disini ya?" sapaku.

Dia lantas berdiri menghadap diriku. "Ari. Tumben datangnya telat. Biasanya kamu yang kesini duluan."

"Bukan apa-apa." Aku memberikan payung merah miliknya. "Ini payung kamu yang kemarin."

"Oh baiklah." Caca menerima payung itu. "Kamu mau pulang ya? Bagaimana kalau kita pulang bareng. Nanti mobil jemputan aku datang kesini."

"Eh, tidak perlu. Aku ada janji dengan temanku hari ini."

"Oh begitu," ucap Caca mengangguk maklum.

Tak butuh waktu lama, sebuah mobil sedan putih menepi dan berhenti di depan kami. Caca mengetahui mobil itu.

"Jemputan aku datang. Aku pulang dulu ya." Dia melambaikan tangan ke arahku.

Aku pun membalas lambaian tangannya, melihat dia masuk ke dalam mobil itu. Lalu mobil itu berjalan pergi.

"Kok aku pernah lihat mobil itu?"

Astaga! Aku hampir saja terkejut ketika mendengar suara orang lain.

Didi(k) Everything is RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang