Bag 19 - Missing Again

137 32 0
                                    

SATYO POV

Aku tidak tahu kalau bulan ini masuk musim penghujan. Saat perkuliahan hari ini berakhir, hujan turun dengan deras. Aku terpaksa berteduh di halte yang sudah menjadi langganan untuk pulang ke rumah kos.

Setelah mencari informasi di perpustakaan siang tadi, aku berpikir bahwa mustahil bisa berkomunikasi dengan seseorang lewat mimpi kecuali apabila itu merupakan suatu firasat atau pertanda. Dan orang yang ditemui dalam mimpi kebanyakan merupakan orang yang sudah meninggal. Apakah Didi sudah meninggal?

Sesaat aku mendesah. Aku peluk tas milikku seerat mungkin, bukan karena kedinginan akibat hujan melainkan perasaan cemas yang cenderung meningkat. Bagaimana aku bisa tahu kalau Didi sudah tiada? Ini sudah hampir tiga tahun. Aku tidak pernah kembali ke desa Sukamara sejak sidang kala itu. Aku pejamkan mata untuk mencoba membuang pikiran buruk itu. Aku tidak mau memikirkan kematian sahabat lamaku.

Didi tinggal seorang diri, kesepian.

Didi sangat tidak sehat, baik dari fisik maupun jiwanya.

Didi sudah mengubah nama depan menjadi Didik, seharusnya aku menyebut nama barunya.

Ketika Didik menjumpai diriku, ia terlihat sangat rapuh.

Didik meminta maaf padaku, menyesali apa yang terjadi tiga tahun lalu, membuang rasa bencinya padaku dalam-dalam.

Didik ingin aku terus menemaninya, tidak suka ditinggal sendiri.

Didik ingin kembali berteman denganku.

Didik ingin aku menjaganya kembali, seperti pesan ibunya kepadaku.

Didik hanya ingin bersamaku.

Bersama.

Sejujurnya aku juga ingin bertemu lagi dengannya. Aku ingin bertemu secara nyata, bukan dalam mimpi. Aku juga ingin Didik masih hidup, bukan meninggal. Seandainya saja aku bisa pulang kampung tanpa harus merasa cemas akan tanggapan orang disana sebagai "anak buah seorang Dukun".

Tiba-tiba aku merasa semacam gerakan tak kasat mata dari sebelah kiriku. Refleks aku berjengit dan langsung mencari sumbernya.

Sampai akhirnya aku melihat Caca di samping. Tangan kanannya agak terangkat ke arahku, dan yang kirinya memegang sebuah payung merah. Dia tampak terkejut, sekali lagi.

"Aku selalu heran, mengapa setiap kali bertemu kamu pasti terbangun kaget seperti itu?" Caca memulai ucapannya.

Suara hujan membuat pendengaran aku terganggu, sehingga aku justru mengalihkan topik tanpa disengaja. "Kamu kenapa kesini?"

Caca menutup payung dan segera duduk di dekatku. "Tunggu jemputan." Suaranya baru bisa kudengar jelas.

"Apa kamu kerja di dekat sini sekarang?" Entah mengapa aku menanyakan itu.

"Kamu baru sadar ya? Padahal kita sempat bertemu di halte ini waktu melihat barang milikmu pecah waktu itu," katanya. "Apa aku belum memberitahumu ya?"

Aku menggeleng. Mungkin karena aku terlalu panik dengan barang pecah milik orang lain, namun Caca yang menggantikannya.

Oh, iya. Uang balas budiku.

Mumpung Caca disini, aku mengambil sejumlah uang di dompet yang aku masukkan dalam tas. Dan sebelum memberinya kepada Caca, aku sengaja membungkusnya dengan kertas dan dilipat rapi, seolah itu adalah surat. Aku melakukan itu di dalam tas agar dia tidak tahu.

Barulah selepas itu aku memberikannya kepada Caca. Ah, tidak secepat itu. "Ca, boleh aku minta nomor ponselmu?"

Caca mengangguk dan langsung menyebut nomornya. Sedangkan aku menyalakan ponsel dan segera mengetik nomor yang disebut olehnya. Setelah tersimpan baru aku memberikan kertas isi uang kepadanya.

Didi(k) Everything is RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang