Bag 12 - Kembali Diancam

129 39 10
                                    

AUTHOR POV

Jam delapan malam. Yang Didik lakukan hanyalah berbaring di dalam kamarnya.

Tidak ada radio, tidak ada televisi, tidak ada ponsel. Semua yang berhubungan dengan benda elektronik sudah ia jual sejak lama. Jadi selama di rumah ia tidak punya bahan hiburan apapun.

Namun ia tidak perlu berpikir keras untuk membeli barang baru. Karena hanya dengan mimpinya, ia sudah merasa terhibur. Begitulah yang dirasakan sejak pertama kali bertemu Ari di dalam mimpinya. Sebenarnya sudah beberapa kali mereka saling bertemu dalam keadaan seperti itu. Banyak hal yang mereka bagikan satu sama lain.

Salah satunya, pernah ketika Ari menceritakan aktivitasnya selama menjadi mahasiswa, disusul membahas perawatan tubuh.

"Aku sudah banyak berubah setelah lulus SMA." Saat itu Ari duduk selonjoran di sampingnya. "Aku bukan anak pintar yang suka dipuji para guru. Justru... sebaliknya."

"Sungguh? Kenapa bisa begitu?" tanya Didi penasaran.

"Aku trauma setelah kejadian yang itu. Kau tahu maksudku 'kan?"

Didik mengangguk paham. "Apa orang-orang menghinamu atau berbuat kasar padamu karena perubahan itu?"

"Tidak sama sekali. Mereka sebenarnya tidak terlalu peduli. Di kampus tidak sama seperti di sekolah. Mahasiswa—orang-orang sebayaku—jauh lebih bebas dan santai daripada saat menjadi siswa sekolah. Pakaian bebas—tapi tentu saja rapi, boleh ngemil jajan dan minum di kelas, bahkan punya rambut panjang seperti dirimu sekarang juga diperbolehkan."

Didik sedikit tersipu ketika memegang rambutnya sendiri. "Menurutmu apa rambutku terlalu jelek?"

Ari tampak berusaha menahan tawa. "Kau jarang keramas ya?"

"Yah, ternyata aku juga banyak berubah setelah putus sekolah." Didik merenung sejenak. "Badanku jauh lebih buruk dari sebelumnya."

"Aku terpaksa bilang kalau kau memang darurat butuh yang namanya perawatan diri sendiri." Ari memegang tangan kiri Didi yang terlihat kasar. "Tapi aku merasa takjub kalau kau ini orang yang tahan banting. Sekeras apapun pekerjaanmu, kamu bisa menghadapinya sendiri, seperti seorang lelaki sejati."

"Sayangnya aku tidak suka tubuhku sendiri. Aku ingin punya tubuh sehat seperti diriu. Bagaimana caranya?"

"Kau mau terima semua saran-saranku?"

Didik mengangguk. "Aku 'kan coba."

"Baiklah, pertama-tama," Ari masih memegang tangan Didik, "pakai sabun mandi dan sampo setiap kali ke kamar mandi. Minimal buat kulitmu jadi lebih halus dan bau badan lebih enak. Kedua," lalu Ari memegang rambut panjang Didik, "coba potong rambut. Kalau masih menginginkan rambut panjang seleher ini tidak masalah. Tapi coba dipotong lebih rapi. Pergi ke tempat potong rambut adalah cara yang terbaik. Ketiga," setelah itu Ari memijat kedua bahu Didik dari depan, "makan yang banyak dan teratur, serta istirahat yang cukup. Jangan terlalu serius memikirkan apapun yang bikin sedih sampai menjadi bebanmu saat ini. Dan keempat," Ari hanya mengendikkan dagunya ke hadapan Didik, "kalau kumis dan janggut itu sudah bikin nggak nyaman, cukur saja sampai habis."

Didik terkesima, ia begitu senang punya sahabat yang sangat perhatian. Ditatapnya kepada Ari dengan tulus, menyampaikan pesan tersirat yang mungkin tidak diketahui orang itu.

"Kenapa kau tiba-tiba menatapku seperti itu?" Ari terlihat bingung . Kedua tangannya masih memegang kedua bahu Didik di depannya. "Apa ada kata-kata dariku yang membuatmu...,"

"Sudah lama aku tidak diperhatikan seperti yang kau lakukan. Aku senang sekali," puji Didik tiba-tiba.

"Jangan terlalu memuji. Aku bukan pacarmu, omong-omong."

Didi(k) Everything is RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang