Bag 4 - Terkenang

179 44 0
                                    

SATYO POV

Masih berada di halte depan mall.

"Bagaimana kabar Bono di kota lain?" tanya Satyo.

"Terakhir kali aku hubungi kak Bono, dia lagi stres banget. Mungkin sibuk dengan ujian semester." Caca memberitahu keadaan kakak sepupunya. "Dan karena stres dia jadi takut berat badannya turun. Padahal itu kabar baik kalau bobot dia berkurang."

Satyo tertawa ringan. "Iya juga. Dulu dia memaksa aku jadi guru olahraga pribadinya. Katanya biar bisa diet dan punya tubuh bagus seperti aku. Padahal aku sendiri sudah mulai jarang olahraga."

Gadis itu tampak mengamati diriku, lebih ke badanku. Aku merasa gugup ditatap olehnya. "Iya badanmu sekarang... bagus."

"Ah, tidak kok. Padahal biasanya aku cuma hobi sepeda dan jalan kaki saja," ucapku sedikit tersipu. "Kalau makanannya sehat dan tidak berlebih, bisa membantu lebih banyak dalam menjalani diet."

"Aku sempat berpikir kalau kamu rajin mampir ke gym buat membentuk lengan dan badan seperti itu." Dia kembali menunjuk diriku. "Aku tebak perutmu pasti sudah—"

"Ah, enggak kok. Aku hanya melakukan olahraga ringan. Tidak lebih seperti yang kau kira."

Aku meraba kedua lengan, yang baru aku sadari bahwa aku mengenakan kemeja berlengan pendek. Ini pakaian pemberian bibi saat aku cuti kuliah di semester pertama. Saat itu aku bingung dengan ucapan sang bibi setelah memberi aku pakaian yang kukenakan ini, "Siapa tahu ada cewek yang naksir padamu."

Jangan-jangan, pakaian ini sudah diberi mantra rahasia oleh bibiku, sampai-sampai para gadis seperti Caca melihat diriku—

"Kak Ari, ada apa?"

Aku segera kembali ke atas kesadaranku. "Enggak apa-apa. Cuma kepikiran sama omongan orang?"

"Oh, karena badan kamu yang bagus itu?"

"Ah, badan aku tidak bagus-bagus amat kok. Apalagi perutku masih rata, tidak berotot seperti yang kamu bilang."

"Aku tidak bilang perut kamu six-pack loh," kata Caca polos.

"Nah, itu akhirnya baru disebut juga olehmu, bukan aku loh."

Caca segera berpaling, aku tebak dia juga tersipu seperti aku tadi.

Tetapi jujur sih, aku memang jarang olahraga selain bersepeda dan berjalan kaki keliling kota, atau di sekitar rumah bibiku saat cuti kuliah. Kecuali kalau kegiatan mendaki gunung atau jelajah hutan juga masuk dalam daftar kegiatan olahraga. Itu hanya ketika aku diajak oleh Rudi yang memiliki teman dari sekelompok pecinta alam, padahal aku sendiri bukan anggota mereka.

"Omong-omong, mengapa kamu ada disini?" tanyaku.

Caca kembali santai seperti sebelumnya. "Aku pulang kerja."

"Wah, sudah kerja ternyata. Jadi apa?"

"Hmm... hanya pegawai mini market. Sering dipindah-tugas sih sampai tiga kali. Sekarang ditempatkan di dekat mal ini."

"Oh, tiap pulang naik apa?"

"Naik bis umum. Nah, itu baru saja pergi." Caca menunjuk sebuah bis warna biru yang baru saja pergi dari halte ini.

"Eh waduh, maaf ya kalau aku sampai menahanmu disini. Harusnya kamu sudah naik duluan."

"Tidak apa-apa. Masih ada satu bus lagi yang berhenti disini. Biasanya sekitar setengah jam lagi. Kalau kamu?"

"Eh, habis belanja alat buat tugas kuliah. Mau pulang naik angkot."

"Ah, apa itu buat skripsi? Pasti sibuk ya bulan-bulan ini?"

Didi(k) Everything is RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang