༝̩̩̥͙ ༓༝̩̩̥͙ ⊹【39】⊹༝̩̩̥͙ ༓༝̩̩̥͙

214 27 15
                                    

"Argh ...."

"Lu udah sadar Ali?" tanya seseorang yang sudah berada di samping gua. Tapi, gua sudah langsung tahu siapa lawan bicara gua sekarang.

Alya.

"Lu kenapa disini?" tanya gua, "dan kenapa kita berdua diikat seperti ini?"

"Lu masih inget kan ini dimana?"

"Ya gua masih inget. Cuman yang gua tanya itu ... kenapa lo ada disini? Terikat bareng gua?"

"Hah ... ceritanya panjang Ali ...." katanya sambil mendesah pelan.

"Well ... lu lihat sendiri kan kalau misalnya kita punya sangat banyak waktu disini?" tanya gua dengan nada sarkastik yang membuat dia tertawa kecil.

"Bener juga sih ... jadi, lu mau mendengar semuanya?"

"Pastilah gua denger."

"Hah ... malu banget gua seriusan. Jadi ya ...."

"Keluarin aja semuaya Ali ... gua ini masih sahabat lu kan?" tanya gua dengan senyuman yang sudah merekah sempurna di bibir gua. Sedangkan si Alya haya membalasnya dengan kekehan.

"Lu tahu kan kalau misalnya gua memang sudah putus asa banget dengan keadaan orang tua gua. Lu juga tahu kalau misalnya perusahaan bapak gua juga udah bangkrut yang membuat gua sudah benar-benar putus asa. Gua sudah gak tahu mau ngapain." jelasnya panjang yang ia lanjutkan dengan hembusan nafasnya yang panjang.

"Tenang Ali ... gua masih disini kok." ucap gua untuk menenangkannya.

"Gua lanjutin ya ...." tanyanya yang gua jawab dengan sebuah anggukkan.

"Terus ... tiba-tiba, datanglah si bangsat Brayden ke cafe. Pas itu, lu lagi telat kan ya?" tanyanya mencoba untuk mengingat-ngingat apa yang gua lakuin di hari itu. Well, itu sebetulnya gak penting sih.

"Udah lanjutin aja woe. Kagak penting gua dimana pas itu. Jadi, gimana kelanjutannya?" tanya gua dengan menggebu-gebu. Si Alya mah hanya bisa menggeleng-gelngkan kepalanya sambil memukul dahinya pelan.

"Iya dah. Jadi, habis itu ... dia nawarin gua, untuk ... hiks ... hiks ... hiks ...."

"Ehh ... udah udah ... tenang. Gua bakal tetep dengerin. Lu tenang. Yang penting sekarang lu  itu sahabat gua kan?" tanya gua ke dia sambil menangis. Jangan salahin gua, Itu karena dia pertama yang nangis. Jadinya gua gak bisa nahan. Ia juga hanya menganggukkan kepalanya sebentar dan membuang nafasnya perlahan.

"Dia nawarin gua untuk memata-matain lu untuk mengetahui semua jadwal lu hari ke hari. Supaya dia dapet timing yang pas untuk dia nyulik lu. Dengan bodohnya, gua malah mengiyakan tawarannya dengan balasan mama gua bakal sembuh dan bapak gua akan dibantu sama dia." jelasnya dengan sebuah senyum miris yang sudah terukir di wajahnya. Air matanya sudah gak karuan dan matanya sudah menyiratkan satu perasaan yang bernama penyesalan.

Tanpa gua sadari, tangan gua yang masih bebas sudah bergerak mendekat ke arah pipinya yang tengah berlinang air mata. Pelan-pelan gua mengusap area bawah matanya sembari gua menyinggungkan sebuah senyuman di bibir gua untuk menandakan bahwa gua baik-baik saja. Lagipula, Alya itu hanyalah manusia biasa yang memang mudah tergoda. Gua pun juga begitu.

Karena keputusasaannyalah dia memutuskan untuk melakukan ini. Gua yakin ini bukan karena kemauannya sendiri, tapi keadaanlah yang memaksa.

"Gua minta maaf Ali ...." ujarnya pelan. Pandangannya ia arahkan ke arah mata gua yang sudah sembab sekarang, begitu juga dengan si Alya.

Beberapa detik kami habiskan hanya untuk menatap mata satu sama lain. Mencoba untuk memahami perasaan masing-masing tanpa mengucapkannya. Alya dengan rasa penyesalannya dan gua dengan rasa kecewa yang tak bisa gua pungkiri.

✓Let's meet in the next life✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang