༝̩̩̥͙ ༓༝̩̩̥͙ ⊹【37】⊹༝̩̩̥͙ ༓༝̩̩̥͙

178 22 4
                                    

“Jadi ... maksud lu ... sekarang orang tua lu udah meninggal?” tanya gua ke Alya setelah beberapa menit gua coba tenangin dia dengan bantuan Emak.

“Iya Alya ... gua juga gak tahu kenapa bisa kayak begitu. Secara tiba-tiba, pihak Rumah Sakit bilang kalau misalnya mama gua udah meninggal di kamarnya. Bapak gua dibawa oleh Ambulans dari Rumah Sakit dan katanya bapak gua sudah meninggal di tempat. Katanya bapak gua termasuk korban tabrak lari. Gimana ini Alisia ... gua mau ngapain nanti di dunia ini tanpa kedua orang tua gua? Hiks ... hiks ....”

“Oke ... pokoknya lu sekarang sama gua aja ya ... jangan kemana-mana. Kalau mau kemana-mana juga harus sama gua.”

“Oke ....” balasnya lesu.

Ya sudah pasti lah lesu... siapa sih yang bahagia mendengar kabar bahwa orang tuanya meninggal. Tapi kenapa ini secara tiba-tiba banget ya? Kemarin kedua orang tuanya masih baik-baik saja kok. Malah katanya, mamanya Alya mengalami peningkatan dalam kesehatannya. Ayahnya juga terakhir kali gua lihat baik-baik saja dan kelihatan ramah kok ke orang-orang dan sepertinya Beliau tidak mempunyai ‘musuh’.

“Alya ... bisa kita bicara? Empat mata.” tegas gua. Dia yang kaget dengan intonasi suara gua hanya bisa mengiyakannya dan mengikuti gua ke kamar gua yang berada di lantai dua dengan wajah yang menunduk takut. Mungkin karena gua hanya memakainya disaat-saat gua mau serius dan pastinya momen-momen itu sangat jarang terjadi.

▣▣▣

Sepertinya dia tahu apa yang gua akan bicarakan. Buktinya aja, dia sekarang udah menundukkan kepalanya dan sekarang atmosfer di kamar gua tiba-tiba menjadi tegang dan belum ada satupun dari kami yang membuka suara.

“Ini pasti ada hubungannya dengan dia kan?” tanya gua penuh selidik. Lawan bicara gua hanya bisa menangis dan sambil menundukkan kepalanya lebih dalam.

“Jawab gua, Alya.” tegas gua yang masih hanya dibalas dengan tangis yang mengalir dari matanya. Hah... sudah pasti ini ada hubungannya lah.

“Siapa sih itu, Alya?!” teriak gua mencurahkan kefrustasian gua ke dia. Sebetulnya, gua bukan marah ke dia. Bukan... tapi kenapa dia gak mau kasih tau ke gua gitu loh... gua itu kan sahabatnya... dan persahabatan kita udah berlangsung lama juga. Apa dia kurang percaya ama gua?

“Lu gak perlu tau. Kayak lu peduli aja. Lu gak usah deh sok-sok khawatir deh ama gua. Lo tuh kan udah bahagia sama kehidupan lu sekarang. Lu gak usah peduli sama gua.” jawabnya ketus. Sedangkan gua sudah mati kutu di tempat gua berdiri sekarang. Mata gua udah melotot seakan-akan sepasang kelopak mata gua sudah mau keluar dan jantung gua seakan berhenti untuk seperkian detik karena kata-kata dari orang yang gua anggap sahabat itu.

“Lu ....”

“Kenapa? Lu kira gua beneran anggap lu sebagai sahabat?! HAH?!! LO SALAH! SALAH BESAR!” teriaknya dengan sangat keras. Gua yakin orang-orang di panti pasti sudah mendengar apa yang ia katakan.

“Siapa sih emang yang mau temenan sama gajah kek lu?! Yang jalan sama lo itu pasti malu tau gak?! MALU! KARENA MEREKA JALAN SAMA GAJAH YANG KELUAR DARI KEBUN BINATANG!” teriaknya lagi sembari dia tertawa. Seakan-akan, ia sudah bangga karena sudah berhasil untuk menyayat hati gua dan membuat gua sekarang menjadi sangat insecure.

Apakah sebetulnya ini tujuan dia yang sebenarnya?

Lalu, apakah Brayden yang menjadi pacar gua sekarang juga hanya memanfaatkan gua?

✓Let's meet in the next life✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang