Setelah 1 minggu lamanya Roseanne mencari informasi tentang Maximous Stevano, ia akhirnya menemukan titik terang. Dimana ternyata Max pernah S1 di Jerman, kemudian mengambil S2 di London, serta bekerja di sebuah cafe seperti sekarang akibat di telantarkan oleh kedua orang tuanya.
Mengapa demikian? Karena orangtua Max yaitu kakak dari Ayah William merasa malu mempunyai anak seperti Max. Bukan tanpa sebab, walaupun Max tergolong anak pintar, namun sikapnya tidak mencerminkan sama sekali.
Ia pernah ditahan atas masa percobaan karena menggunakan narkoba saat lulus S2 di London. Akhirnya, karena masih tergolong ringan, ia hanya di rehabilitasi oleh pemerintah dan di bebaskan dengan syarat tertentu.
Ayah Max, yaitu Devan Stevano adalah seorang Perdana Menteri Swiss dan sang Ibu yaitu Alleane Jovanka hanya seorang anak dari kepala maid di dalam kantor Perdana Menteri. Begitulah awal mula kedua orangtua Max bertemu.
Walaupun Alleane bukan berasal dari keluarga kaya raya, namun usaha yang ia bangun sudah banyak dan sekarang menjadi salah satu pengusaha besar di Paris. Sang Ayah yang sudah pensiunan dari jabatan Perdana Menteri, sekarang menjadi CEO saja di sebuah perusahaan tambang emas terkemuka. Tidak heran mengapa Max bisa kuliah sampai S2 di 2 negara yang berbeda.
Maka dari itu, Max dulu sangatlah angkuh dan semua yang ia inginkan harus tercapai. Seperti sekarang ini, ia sengaja bekerja di sebuah cafe tepat di dekat kantor Karina karena William lah yang menyuruhnya. Sepupunya itu masih saja dendam dan terobsesi dengan mantan partner sexnya yaitu Rose.
Begitu mengetahui hal tersebut, Rose bergidik ngeri memikirkan informasi tersebut. "Haahh.... bisa bisanya gue tertipu untuk yang kedua kalinya... Sekarang malah sama sepupunya, kenapa sih hidup gue sial terus"
"Okay, pertama yang gue harus lakuin adalah susun rencana buat perlahan menjauh dan menghilang dari kedua saudara sinting itu, and then baru gue bisa hidup dengan sedikit tenang sebelum gue masukin bukti dan ngelaporin diri sendiri ke polisi sebelum semua terlambat."
Saat Rose baru saja ingin beranjak dari sofa, bel pintu apartemennya berbunyi. Ia kemudian melirik dari lubang pintu dan hampir saja ia berteriak karena yang datang adalah Max. Ia sampai menutup mulutnya agar tidak diketahui Max bahwa ia berada di dalam. Buru - burulah Rose mematikan handphonenya dan mematikan semua lampu.
Tok tok!
"Rose... Sweetheart... Are you home?"
"I know that you're inside that, Roseanne... C'mon, open the door... Didn't you miss me, honey?"
"Rose... I'm still trying to wait you here, dan masih dengan cara yang baik sayang... Don't try to make me upset tonight... Kamu tahu kan konsekuensinya apa?"
"Alright... Kalau kamu memang tidak ada di dalam, or... You trying to hide from me, it's okay... But remember, aku akan kembali lagi besok buat ketemu kamu... See you tomorrow, Rose"
Setelah beberapa menit Rose tidak lagi mendengar ada suara dan mengintip sedikit dari lubang pintu, akhirnya Rose bisa bernafas lega. Ia harus cepat pindah dari apartemen ini dan lebih baik pindah ke unit apartemen di sebelah unit Brian saja. Ia pikir, ia akan lebih aman disana.
Rose kembali menyalakan lampu dan betapa terkejutnya ia hingga jatuh ke lantai bahwa ternyata Max sudah ada di belakangnya dengan senyum manis dan duduk di meja bar. "Hey sweetheart, there you are... I found you"
"Wh-what are you doing here, Max... Dan, kenapa kamu bisa masuk ke unit aku? Bukannya tadi kamu-"
Max tersenyum manis dan menghampiri Rose yang sudah gemetar di pojok pintu, "Aaahhh.... I have a key to open your balcony, and for you information, i live here too, sweety... Ah, lebih tepatnya unitku berada di sebelah unitmu. Tidak sulit untuk masuk bukan?"
Dagu Rose di pegang dengan mudahnya karena tubuh Max yang besar dan posisinya ia terhimpit di pojok pintu. Tidak ada akses untuk kabur baginya. Sungguh bodoh sekali Roseanne Park.
"Wh-what do you want from me, Max...?"
Max berpikir sebentar dan kemudian mendekat ke arah Rose serta kemudian berbisik, "How about spend the beautiful night with you until the morning come? I miss you so badly, and of course like we did the last time, I want to fuck you harder than before."
"NEVER, MAX! AKU NGGA AKAN MAU HAVING SEX SAMA KAMU LAGI!" Lepas Rose paksa pada tangan Max dan ia kabur ke arah dapur.
"Aahh, begitukah?" Sinis Max dengan suara rendahnya yang membuat Rose merinding ketakutan. "I said that before, Roseanne... You can hide from me, but you can't run from me... It was all your choice from the start, that you choose me to having fun with you. So, am I."
"But, I never want you, Max! Never!"
"Did you? Let see if you didn't needed me." Dengan serangan mendadaknya, Rose sudah di tangkap dan dibawa ke kamarnya. Rose sudah memberontak dengan segala cara, namun tidak bisa. Tenaganya habis terkuras hanya demi bisa melepaskan diri dari Max.
"Sssttt.... Diam Rose, I can't tide you with my rope, honey... Stay still and I will take you to the heaven".
"Maxxx... Stop it! Please, stop! You're insane!"
"Yes I am, and it was all because of you. Jadi, lebih baik kamu diam dan menikmati, sebelum aku jauh lebih kasar sama kamu dan memanggil William kemari. Kamu tidak ingin hal itu terjadi, bukan?"
"Nnoo... Please, no... I beg you.. Lepasin aku, Max.. Lepasin..."
"Nope, sebelum kamu memuaskan aku dan kamu berjanji tidak akan melaporkan apapun. Aku tahu rencanamu serta masa lalumu bersama William."
"Tapi, Max-"
Karena tidak begitu sabaran, Max merobek semua pakaian Rose, dan melakukan hal yang ingin ia lakukan dengan kasar hingga membuat Rose menangis dan kesakitan. Ia pasrah namun di dalam pikirannya, ia tetap mencari jalan untuk melakukan semua rencananya dan menghindar dari Max beserta William.
Mereka bermain sampai keesokkan malamnya kembali. Max tidak memberi ampun pada Rose. Max hanya membangunkan Rose untuk makan dan minum. Setelahnya, ia kembali melakukan hal yang sama pada Rose sampai ia puas dan tertidur lelap di samping Rose.
BOTH OF US
- TO BE CONTINUE -
KAMU SEDANG MEMBACA
Both Of Us
Teen Fictionft. Jake Shim / 제이크 from Enhypen. A story about fighting the deepest trauma between Jake Anderson and Karina Patricia Watson. ©jaehyunhyunjae