Persiapan dilakukan Dylan sebaik mungkin. Ia tidak ingin terjadi kesalahan sekecil apapun malam ini. Mulai dari dekorasi, makanan, sampai kata-kata yang harus ia ucapkan sudah disusun sejak jauh hari. Namun, Dylan melupakan satu hal penting. Yaitu, keputusan terakhir tetap ada di tangan cewek itu.
Padahal ia sudah percaya diri ketika keluar sambil membawa buket mawar merah. Keyakinan Dylan makin bertambah ketika Laura meraih uluran tangannya. Lalu, setelah satu kalimat itu terucap, tiba-tiba saja senyum Laura pudar.
"Are you sure? Kita masih sembilan belas tahun loh, Dyl."
Dylan membeku. Alunan musik romantis dari audio kafe tiba-tiba terasa seperti mars kematian. Teman-teman Dylan dan Laura yang menyaksikan adegan ini dari sudut kafe pun mendadak hening. Sepertinya mereka merasakan ketegangan yang Dylan rasakan juga.
Dylan bisa merasakan tangannya sendiri bergetar. Ia melepaskan genggaman Laura, khawatir cewek itu menyadari ketakutannya. Dylan tidak berani menatap mata Laura. Ia tahu—mereka berdua sama-sama tahu—kalau perasaan itu satu. Laura juga tidak menolaknya dengan kasar, lebih ke arah memastikan keputusan Dylan. Namun, entah kenapa Dylan sangat ketakutan sekarang.
"I-I do sure, Lau...." bola mata Dylan bergetar. "I-I am too afraid to lose you."
Akhirnya, Dylan memberanikan menatap mata Laura. Cewek itu masih menunggu penjelasan Dylan.
"Waktu kita ada di kota berbeda, aku yakin bisa bertahan karena waktunya nggak lama. Aku juga yakin bisa buat papa kamu restuin hubungan kita. Tapi ... Osaka – Singapura ... it's too hard! I missed you everyday."
"Jadi kamu nggak yakin bisa laluin ini?"
"Bukan gitu, Lau!" Dylan buru-buru meralat ucapannya. "Tanpa kamu, aku jadi pengecut. Semua ... semua kacau tanpa kamu."
"Jadi intinya kamu nggak yakin, 'kan?"
Dylan mengusap wajahnya dengan kasar. Sikap dan suara Laura yang tenang justru membuatnya tambah takut. Pacaran jarak jauh bukan hal yang mudah. Ada kalanya Dylan tidak yakin—baik pada dirinya maupun Laura. Masalah jaringan komunikasi, mencocokan jadwal, sampai hal-hal kecil lainnya menjadi makanan sehari-hari. Terlebih Dylan merasa Laura semakin cantik setiap harinya. Ia sendiri tidak tahan untuk tidak jatuh cinta lagi dan lagi, apalagi laki-laki lain di luar sana.
"Laura, please ...," ucap Dylan memelas. Bukan meminta Laura menerima lamarannya lagi, tapi agar Laura berhenti meragukan cintanya.
"I can't, Dyl." Laura menggeleng sambil tersenyum, tapi matanya menyiratkan penyesalan. "Maksudku, nggak sekarang. Marriage is not that easy."
Dylan tahu itu, lebih dari siapapun. Ia telah berkaca dari pengalaman orang tuanya. Papa menikah dengan mama karena bisnis—pernikahan tanpa cinta. Kemudian, saat menikah lagi dengan tante Yulia pun ternyata cinta yang ia rasakan itu salah. Cinta memang bisa dirasakan hanya satu pihak, tapi sebuah komitmen terbentuk karena kepercayaan satu sama lain. Dylan tidak boleh memaksakan egonya. Ia tidak mau membuat Laura hilang kepercayaan.
Dylan menunduk, merasa malu dengan desakan yang ia ucapkan tadi. "Sorry, Lau. Aku nggak berpikir sampai sana. Aku cuma mau kita sama-sama terus."
Dylan takut kehilangan. Ia sudah mengalami kehilangan besar ketika di usia belia. Ia juga harus menjalani hidup keras dengan doktrin papa. Sampai sekarang pun Dylan merasa hidupnya belum utuh. Seberapa banyak teman yang ia temui, Dylan hanya merasa tenang ketika mendengar suara Laura. Ia tidak siap kalau sampai harus kehilngan orang yang disayanginya lagi.
"Hey, look at me!" Laura menangkap kedua pipi Dylan dan membuat mereka kembali bertatapan. "Kita jalanin ini pelan-pelan, okay? Masih banyak yang bisa kita lakuin, baik bersama maupun buat diri sendiri. Bukannya kamu udah janji buat nggak berpikir kalau kamu sendirian di sini? I'll stay here with you, even we are not yet settled."
"Kita juga ada di sini kok, Dyl! Aww!"
Pekikkan Belva dari sudut sana membuat Dylan dan Laura menoleh bersamaan. Cowok itu sedang mengusap-usap belakang kepalanya. Terlihat Batara mendumel pelan pada Belva yang merusak momen penting itu. Namun kemudian, seolah tahu kalau suasana haru itu tidak bisa kembali seperti semula, semua orang di sana hanya bisa mengeluarkan tawa canggung.
"It's okay, Bro! Kita semua teman lo di sini," ujar Radit, lalu disambut anggukan dan senyuman hangat yang lain.
"Thanks." Dylan berbisik.
Laura benar, ketakutannya selama ini hanyalah ilusi. Ia hanya belum siap melangkah dan melihat hal baru. Padahal di sekelilingnya banyak orang yang peduli padanya, menjaganya, dan mencintainya. Kenapa Dylan baru menyadarinya?
"Sebagai gantinya ...." Laura meraih tangan Dylan yang masih memegang buket bunga dan kotak cincin. Ia pun mengambil kotak cincin itu, lalu memasukkannya ke dalam saku blazer yang dipakai Dylan. "Tolong jagain cincin ini, ya. Seenggaknya sampai ... kita lulus?"
"In two years?"
Laura mengerutkan dahinya, tampak tidak yakin. "Nggak yakin juga ya ...."
Hati Dylan mencelos. Bahkan sudah sejauh ini Laura belum juga yakin. Keringat dingin kembali mengucur di punggungnya.
"Hahaha ...."
Dylan tidak tahu ekspresi apa yang sedang ia tunjukkan sampai membuat Laura tertawa keras. Namun, dari sana akhirnya Dylan sadar kalau Laura hanya menggodanya. Ia menarik napas panjang. Memang hanya cewek ini yang bisa membuat Dylan panas dingin karena panik. Seorang Dylan yang bisa menghadapi profesor tergalak di jurusannya dengan tenang, tidak bisa berkutik kalau Laura sudah ngambek apalagi sampai marah-marah.
Dylan menyelipkan anak rambut Laura yang jatuh di pipi. "Oke, aku tunggu. Dan kamu juga harus lakuin hal yang sama."
Laura mendengkus lalu melipat tangannya di dada. "Oho! Mulai nunjukin sisi dominannya ya Mas ini."
"Ng-Nggak, Lau! Maksudnya—"
Dylan tidak mengantisipasi bibir Laura akan mendarat di pipinya. Tidak berhenti sampai sana, Laura pun langsung memeluk Dylan dengan tubuh mungilnya. Dylan tidak bisa merasakan apapun selain suara debar jantung yang keras. Musik yang mengalun di kafe atau bahkan suara kekehan teman-temannya di sana seolah menggaung di kepala Dylan. Ia tidak tahu lagi. Dylan tidak tahu bagaimana bisa jatuh cinta lagi dan lagi pada cewek yang mampu membuatnya mati muda.
Namun, meski suara debar jantungnya seolah menutup telinga Dylan, bisikan lembut Laura mampu didengarnya dengan jelas.
"Makasih ya, udah ngertiin aku."
--------------------------
Btw ini nyambung sama salah satu bagian di cerita [Juingong] hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain
Teen Fiction[Laura adalah tokoh antagonis yang memiliki akhir hidup menyedihkan.] Aku tidak mau menjadi Laura yang seperti itu---itu adalah tekad yang pasti ketika aku sampai di dunia ini. Aku ingin mengubah jalan hidup Laura. Laura harusnya menjadi wanita kar...