Dua hari ternyata tidak cukup untuk membuat desas-desus itu menghilang dari sekolah. Begitu keluar dari mobil dan melangkah menuju koridor, Laura langsung dihujani tatapan sinis dan bisikan yang menusuk hati. Laura menggigit bibir bawah, lalu mengeluarkan earphone untuk menyumpal kedua telinganya. Namun, musik rock yang berputar ternyata tidak mampu mengalahkan kecemasan Laura.
Laura merasa sesak, meski kenyataan koridor sekolah cukup lebar. Tatapan mereka seakan menjadi dinding yang terus menghimpit tubuhnya sampai tidak bisa bergerak. Setiap langkah yang Laura lalui bagaikan jalan penuh duri yang terus melukainya. Laura mengepalkan tangan. Ia harus bertahan, setidaknya untuk beberapa hari ini.
"Lau."
"Hah?!"
Laura terperanjat sambil memekik keras. Bola matanya bergetar, seiring dengan tubuhnya yang menegang. Namun, ketika melihat bahwa yang menyapa dan menyentuh pundaknya adalah Mou, Laura pun menghela napas panjang.
Sepertinya Mou juga ikut terkejut dengan pekikkan Laura tadi. Ia mengerjapkan mata beberapa saat dan menatap Laura dalam-dalam. "S-Sorry. Gue ngagetin lo, ya?"
"Nggak apa-apa," ucap Laura sambil melepas earphone-nya.
Mou tidak membalas apapun. Ia merangkul pundak Laura dari samping, lalu perlahan mengajaknya kembali melangkah. Sepertinya Mou juga menyadari kalau orang-orang di sini tidak membiarkan Laura menjalani paginya dengan tenang. Mou memasangkan earphone kembali ke telinga Laura.
Berkat tatapan dingin Mou pada siapa pun yang ketahuan membicarakan mereka, Laura bisa menaiki tangga sampai lantai tiga dengan sedikit lebih tenang. Mereka hanya perlu berbelok di koridor dan berjalan menuju kelas yang berada paling ujung. Sekilas terdengar mudah. Namun, begitu melihat siswa-siswi dari kelas lain berdiri di sepanjang koridor, nyali Laura kembali menciut.
Mou sepertinya kembali menyadari kecemasan Laura. Rangkulannya pada bahu Laura semakin erat.
"Dia masih berani datang ke sekolah?!"
Bukan lagi bisikan, melainkan ucapan terang-terangan dari Aby ketika Laura melewati 11 IPA 3. Kepala Laura semakin tertunduk mendengar suara mereka dari sela-sela lagu yang berputar.
"Mentalnya kuat juga ternyata."
"Shut up, Bitch!" teriak Mou tiba-tiba, membuat koridor seketika menjadi hening.
Pasti tidak ada yang menyangka kalau cewek seperti Mou bisa meneriakan kata-kata kasar. Meski dikenal memiliki mulut pedas, Mou tidak pernah berteriak apalagi sampai memakai kata kasar. Ia lebih suka menyerang lawannya dengan kata-kata sarkasme. Jadi, sudah pasti teriakan Mou kali ini akan mampu membuat geger satu sekolah.
Tatapan tajam Mou dari balik kacamata menatap lurus Aby dan Cinta. Laura pun menarik pelan tangan Mou untuk segera melanjutkan langkah. Laura tidak peduli dengan Aby atau Cinta yang ketakutan di sana, ia hanya tidak mau Mou mendapat masalah kemudian. Sudah cukup dirinya yang terluka gara-gara masalah ini.
Mou bertahan cukup lama pada posisinya sebelum menghela napas panjang. Ia memutar badan dan menggenggam tangan Laura dengan erat. Meski tidak mengatakan apapun, Laura bisa merasakan amarah Mou yang besar. Laura membiarkan dirinya ditarik Mou menuju kelas.
"You are the bitch, Bitch!"
Sahutan Aby kembali menyulut emosi Mou. Melepaskan tangan Laura, Mou berbalik badan dan menghampiri cewek itu. Tidak! Laura tidak ingin seperti ini. Jadi, sebelum Mou mencapai tempat Aby, Laura meraih tangannya dan menahannya sekuat tenaga. Laura hanya membutuhkan ketenangan di sini sampai di hari kepergiannya.
"M-Mou ... udah ...."
Mou lebih bersikeras dari sebelumnya. Ia memang tidak menepis tangan Laura, tapi bisa dirasakan kalau cewek itu terus berusaha melepaskan diri. Tidak lama kemudian, Laura mendengar derap langkah dari arah belakang, diikuti dengan suara yang ia kenal dan rindukan.
"Mou, udah. Yuk, masuk, yuk ...."
Radit menggantikan tangan Laura untuk menahan Mou, sedangkan Hana langsung merangkul Laura dan membawanya masuk ke kelas. Alvin pun berdiri di depan Mou, menghalangi cewek itu dari ekspresi mengejek kelompok Aby di sana. Mou akhirnya luluh, meski tetap melemparkan tatapan tajam kepada Aby sebelum memutar badan.
Keadaan kelas terasa lebih baik, walaupun Laura belum terbebas dari lirikan menghakimi teman-teman sekelasnya. Dari ujung matanya Laura melihat tempat Bulan masih kosong, itu artinya dia belum masuk sekolah atau memang belum datang. Selama izin dua hari kemarin, tidak ada satu pun sahabatnya yang membahas tentang Bulan. Laura pun tidak ingin tahu lagi. Setelah ini, hubungan mereka benar-benar harus diputus.
"Maaf gue ngerepotin kalian lagi," kata Laura pada sahabat-sahabatnya yang sudah duduk mengelilingi.
Alvin mendengkus dan terkekeh pelan. "Jangan bercanda deh, Lau—"
Alvin tidak menyelesaikan kalimatnya karena tatapan Mou dengan tajam langsung memotong. Kalau biasanya Laura akan merasa geli dengan adegan itu, kali ini ia tidak mampu tertawa. Justru ia merasa sedih. Sebentar lagi Laura harus meninggalkan semua ini.
Kepala Laura tertunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang sudah ada di pelupuk mata. "Kalian pasti jadi dipandang jelek gara-gara gue."
"Udahlah, Lau ...."
Mou, yang awalnya terdengar seperti ingin membentak Laura, akhirnya hanya bisa mendesah lemah. Masalah yang dialami Laura pasti sangat kelewatan sampai-sampai membuat seorang Moulidya bisa membentak seperti itu. Tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi di sini kalau Laura tinggal lebih lama. Memang sepertinya ia harus meninggalkan cerita ini. Menjadi antagonis yang tidak jahat saja ternyata tidak cukup untuk mewujudkan kehidupan Laura Jacquelin Zulvi yang nyaman.
"Gue udah diskusi sama bokap," ucap Laura tanpa menatap teman-temannya.. "Minggu depan, gue pindah sekolah."
Laura menghela napas. "M-Maaf gue nggak kasih tahu kalian sebelumnya."
Kejadian dua hari lalu membuat papa murka. Ia memberondong Laura dengan pertanyaan, sampai akhirnya Laura mengaku apa yang dialaminya akhir-akhir ini di sekolah. Masih membekas jelas raut marah papa. Laura bahkan sampai membayangkan bagaimana sakitnya pukulan tangan papa yang terkepal kuat waktu itu.
Semalaman itu, papa tidak berbicara dengan Laura dan memilih mengurung diri di ruang kerjanya. Melihat itu pun, Laura jadi tidak berani mendekatinya. Sampai akhirnya, pagi ini papa mengatakan kalau ia sudah memilih sekolah lain di luar kota untuk Laura. Bersamaan dengan ekspansi bisnis papa di bidang pariwisata, mereka akan tinggal di sana dalam waktu yang sangat lama. Papa juga mengatakan kalau pengawasan Laura juga akan diperketat, termasuk pengawal pribadi dan psikiater.
Terdengar berlebihan, tapi Laura tahu kalau papa melakukan semua itu demi dirinya. Ya, Laura memang anak yang menyusahkan.
"Maafin gue ...."
Hanya dengan membayangkan kalau ia harus meninggalkan teman-temannya di sini, hati Laura sudah sakit. Menutup wajah dengan kedua tangan, Laura menumpahkan air matanya. Kenapa yang bisa ia berikan sebagai kenangan terakhir hanya rasa sakit? Padahal ini semua salah Laura, tapi kenapa orang-orang yang disayanginya harus ikut terkena imbas?
Laura tidak mendengar apapun dari teman-temannya, tapi pelukan hangat mereka mengelilingi tubuh Laura. Ia juga merasakan sebuah tangan besar mengusap rambutnya dengan lembut. Tangis Laura semakin keras. Entah si penulis terlalu jahat, atau memang dirinya yang terlalu bodoh. Sebentar lagi, Laura harus melepaskan semua kehangatan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain
Novela Juvenil[Laura adalah tokoh antagonis yang memiliki akhir hidup menyedihkan.] Aku tidak mau menjadi Laura yang seperti itu---itu adalah tekad yang pasti ketika aku sampai di dunia ini. Aku ingin mengubah jalan hidup Laura. Laura harusnya menjadi wanita kar...