Bunyi bel panjang menandakan waktu ujian telah berakhir. Para murid pun mengoper kertas jawaban dan soal ke bangku di depannya. Helaan napas lega bercampur lenguhan kesal memenuhi seisi kelas. Wajah senang menghiasi mereka yang berhasil melewati minggu midterm ini dengan lancar. Dan beberapa di antaranya hanya bisa pasrah, seolah baru saja dicabut nyawa. Termasuk Alvin.
Mata pelajaran yang diuji terakhir hari ini adalah Bahasa Jepang—mata pelajaran yang paling dibenci Alvin. Memang benar kata pepatah, sesuatu harus disukai terlebih dahulu agar bisa dikerjakan dengan baik. Alvin tidak suka guru bahasa Jepang yang mengajar kelasnya. Itulah yang membuat wajahnya sangat pucat sekarang. Tatapan matanya kosong. Lalu dalam hitungan detik setelah kertas ujian diambil, kepalanya tumbang di atas meja.
Berbanding terbalik dengan Hana yang tampak santai. Ia bahkan sudah menyelesaikan semua jawaban sejak tiga puluh menit yang lalu. Selain suka, ibunya Hana adalah dosen Sastra Jepang di salah satu universitas swasta. Ia sudah dijejali bahasa negeri Sakura itu sejak kecil.
Bermaksud mengejek, Hana menghampiri Alvin yang masih berusaha mengumpulkan sisa nyawanya. "Masih hidup lo?"
"Gue siapa? Di otak gue cuma ada "watashi wa" sama "arimasen"."
Plak!
Radit datang dan langsung memukul kepala Alvin dengan gulungan kertas. "Elah! Lebay lo!"
Namun, sepertinya keadaan Alvin jauh lebih parah dari yang mereka bayangkan. Ia sama sekali tidak bergerak bahkan setelah dipukul Radit seperti itu. Biasanya, dia akan langsung bangun sambil marah-marah, atau bisa juga sampai memukul balik Radit. Rintihan menyedihkan keluar dari mulut Alvin, membuat Hana mengerutkan dahi karena khawatir.
"Eh? Lo nggak mati beneran, 'kan?" tanya Hana.
"Gue mau mati aja ...."
"Bangun atau gue siram!"
Satu ucapan dingin dari Mou berhasil membuat Alvin menegakkan punggungnya. Laura, Hana, dan Radit sama-sama menatap Alvin dan Mou sambil menahan senyum. Mou terlihat seperti ibu mertua Alvin, terlebih dengan kacamata berkesan dingin itu. Meski mereka berdua tidak pernah akur, Alvin paling patuh kalau Mou sudah mengeluarkan nada seperti itu.
"Lo mah kalau bercanda pakai nada yang lucu dong," ucap Alvin sambil mendesah. Meski begitu, ada sedikit kengerian di matanya.
"Gue nggak pernah bercanda."
Dan jawaban itu membuat Alvin harus menelan air liurnya yang pahit.
"Emangnya susah banget, ya?"
Pertanyaan Laura itu seolah menambah luka di otak Alvin. Belum pulih otaknya dari huruf-huruf Hiragana dan segala "watashi wa" itu, ia pun harus menerima "siraman segar" dari Mou. Dan sekarang, Laura menambahkan pukulan telak sampai otak dan hatinya berlubang. Sungguh hari yang sial untuk Alvin.
"Dit, lihat dong, teman lo di-bully kok diam aja ...." Alvin meraih tangan Radit dan menggoyangkannya—bertingkah sok imut.
Laura mendengkus. "Eh, gue nanya beneran, ya, Bambang!"
"Radit ... Gue di-bully ... tolong! Gue butuh asupan PS lo! Please ...."
Satu pukulan kertas lagi mendarat di kepala Alvin. "Bilang aja lo mau main!"
"Udah seminggu gue LDR sama hape dan laptop gue. Apalagi sama PS lo, Dit. Ada kali sebulan." Masih dengan wajah memelas, Alvin menggoyangkan tangan Radit. "Please, Dit ... Ayo kita ke rumah lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain
Fiksi Remaja[Laura adalah tokoh antagonis yang memiliki akhir hidup menyedihkan.] Aku tidak mau menjadi Laura yang seperti itu---itu adalah tekad yang pasti ketika aku sampai di dunia ini. Aku ingin mengubah jalan hidup Laura. Laura harusnya menjadi wanita kar...