"Nanti kalau mau dijemput, telepon aja, ya, Non."
Itu adalah pesan Pak Yanto sebelum Laura turun dari mobil. Namun, rasanya Laura ingin langsung menelepon Pak Yanto untuk putar arah karena tiba-tiba perutnya mulas. Ia sudah berada di pintu masuk sebuah mall, di mana Laura dan Dylan janji untuk bertemu. Jam pun sudah menunjukkan hampir pukul dua siang, artinya tinggal beberapa menit lagi sebelum Laura bertatapan dengan Dylan.
Bagaimana pun, menyesal sekarang tidak ada gunanya. Harusnya Laura menolak ajakan itu dari awal. Ia baru menyadari, kalau Dylan mempunyai kemampuan aneh untuk memanipulasi otaknya. Tidak pernah disangka kalau senjata "mau, ya?" yang dilemparkan Laura menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Laura tidak bisa mengelak permintaan itu lagi.
Laura menyeret langkahnya memasuki lobi mall. Ia pun sengaja menaiki eskalator untuk mengulur waktu. Meski ia tidak tahu konsekuensi apa yang akan dihadapinya jika membuat Dylan menunggu, Laura tetap tidak ingin buru-buru bertemu cowok itu. Melihat sifat ketus Dylan beberapa hari belakangan ini, sepertinya Laura akan terkena sindiran panas lagi.
Ponsel Laura bergetar ketika ia tiba di lantai tiga mall itu—tempat bioskop berada. Sebuah pesan masuk dari Dylan, yang mengatakan ia sudah ada di dalam bioskop. Sekilas, Laura melirik jam yang ada di ponselnya. Tepat jam 2. Ketepatan waktu cowok itu sangat mengerikan.
Entah sudah berapa desahan malas dikeluarkan Laura. Sekarang, ia sudah berdiri tepat di depan pintu masuk bioskop. Seluruh dinding yang terbuat dari kaca membuat Laura bisa melihat apa yang ada di dalam sana. Ia sedikit berharap, Dylan tiba-tiba harus pulang tanpa mengabari Laura, sehingga Laura mempunyai alasan untuk marah dan tidak mau menemuinya lagi. Namun, sekali lagi, tidak ada harapan yang mudah diwujudkan untuk seorang antagonis. Baru Laura mengucapkan harapan itu, matanya bertemu tatap dengan sosok cowok tinggi yang duduk di sofa, di dalam sana.
Laura terjebak oleh tatapan itu. Ia tidak bisa kabur. Menghela napas, Laura pun mendorong pintu dan masuk. Tidak ada sapaan hangat atau paling tidak senyuman yang mungkin bisa memperbaiki harinya. Dylan masih bertahan dengan gaya dingin mengintimidasi. Ia duduk bersilang kaki sambil memainkan ponsel, tapi matanya terus tertuju pada Laura. Sampai akhirnya, Laura duduk di sisi yang kosong, di sebelah Dylan.
"Hai," sapa Laura.
"Hm."
Cih! Sombongnya Mas ini ....
Untung ganteng lo, Dyl.
Laura kembali merasa dirinya memiliki alter lain yang merupakan penggemar Dylan. Meski wajahnya selalu datar dan terkesan cuek, Dylan sangat memesona hari ini. Ini adalah kedua kalinya Laura melihat Dylan tanpa seragam SMA Pramulia, selain di acara pernikahan waktu itu. Ia memakai celana jeans hitam, dan kaus lengan panjang berwarna biru dongker. Dylan pun tidak memakai kacamata hari ini. Ia terlihat seperti malaikat pencabut nyawa yang sedang melakukan pemotretan majalah.
Laura menggelengkan kepala, berusaha mengusir alter-nya yang aneh itu. Ia mengalihkan pandangan ke layar tv yang menampilkan daftar film yang diputar. Mulai dari horor, sampai komedi-romantis sedang diputar hari ini.
"Kita mau nonton apa?"
Bukannya menjawab, Dylan malah menyodorkan ponsel ke hadapan Laura. "Gue udah pesan."
"Bukannya kita sepakat buat beli tiket masing-masing?" ujar Laura, menunjukkan kejengkelannya akan sikap Dylan. "Gue nggak kekurangan uang jajan."
Ucapan Laura kali ini sukses membuat Dylan menoleh. "Ini buy 1 get 1."
Laura berdeham, sedikit malu karena ia hanya diberi tiket gratisan. Namun, emosi Laura kembali meluap ketika melihat tiket apa yang dipesan Dylan melalui event "buy 1 get 1" di aplikasi itu. Tulisan "The Stranger's Blood" yang terpampang besar di tiket online yang dipesan Dylan, membuat Laura tidak bisa berkata apapun. Orang bodoh pun tahu kalau itu adalah film horor. Dan siapa orang yang lebih bodoh dari orang bodoh yang ingin menonton film horor di kencan pertama mereka?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain
Teen Fiction[Laura adalah tokoh antagonis yang memiliki akhir hidup menyedihkan.] Aku tidak mau menjadi Laura yang seperti itu---itu adalah tekad yang pasti ketika aku sampai di dunia ini. Aku ingin mengubah jalan hidup Laura. Laura harusnya menjadi wanita kar...