[24] Jalan yang Terhenti

27.3K 3.3K 76
                                    

Dylan tidak pernah ragu ketika mengerjakan soal matematika tingkat tinggi. Bahkan ujian bahasa asing di sekolah pun bisa diselesaikannya dengan mudah. Namun, kali ini, hanya dengan melihat tulisan "Formulir Rencana Pendidikan dan Karier" yang tercetak tebal di bagian atas, Dylan sudah beberapa kali menghela napas. Di SMA Pramulia, semua murid harus sudah bisa menentukan rencana pendidikan lanjutannya saat kelas 11. Ini dimaksudkan agar guru-guru bisa mengarahkan dan memberi tips lebih dalam untuk mereka.

Kalau formulir ini diberikan satu minggu yang lalu, Dylan mungkin sudah mengisi seluruh kolom tanpa ragu. Ia akan memilih Australia sebagai negara tujuan pendidikan lanjutannya, serta menuliskan nama University of Sydney jurusan Bisnis di kolom "universitas dan jurusan". Rencana itu sudah disusun sejak lama oleh Papa. Ia berharap, Dylan akan mendapat perhatian lebih karena Kakek juga merupakan lulusan terbaik universitas tersebut.

Namun kali ini, bahkan kata "Australia" tidak muncul di benak Dylan. Pikirannya masih mengawang, dan jiwanya pun sedang kebingungan. Meja belajar ini terasa lebih dingin dari biasanya. Kesunyian kamar Dylan hanya membuat dirinya makin tidak bisa berpikir.

["Just be yourself, lah."]

Diri sendiri? Gue bahkan nggak tahu gue ini apa.

["You have to be what you wanna be."]

Apa yang gue inginkan?

Dylan mendesah panjang dan melepaskan kacamatanya. Ia pun mendongakkan kepala, menatap langit-langit kamar yang berwarna kelabu. Mata itu hanya fokus pada cahaya lampu di sana, berharap itu bisa membawa pikirannya ke sebuah titik terang. Entah kapan terakhir kali Dylan merasa ragu untuk memilih. Sudah sangat lama sejak Dylan diberi kesempatan untuk memilih jalannya.

Mata Dylan terasa perih karena terlalu lama melihat cahaya lampu. Memijit pangkal hidungnya, Dylan kembali memakai kacamata dan mulai mengambil satu buku latihan soal yang terletak di antara buku-buku tentang pengembangan diri dan bisnis. Mungkin dengan mengerjakan soal, pikiran Dylan akan lebih fokus nanti. Ia melipat kembali formulir tersebut, lalu menyelipkannya di sela buku. Ia bisa mengisinya nanti di sekolah. Lagi pula formulir ini masih boleh dikumpulkan sampai minggu depan.

Satu per satu halaman Dylan buka untuk mencari kumpulan soal yang belum diselesaikannya. Dan, tiba-tiba Dylan berhenti membalik halaman. Jarinya bergerak untuk menyentuh goresan pensil mekanik di salah satu pojok halaman soal fisika. Itu adalah sebuah sketsa kepala Gundam yang penuh detail. Sepertinya Dylan tanpa sadar menggambar ini ketika jenuh mengerjakan soal.

Gambar kecil itu mengingatkan Dylan pada sesuatu. Ia pun mengambil kunci dari salah satu kantung tas sekolahnya lalu membuka laci kedua meja belajar yang terkunci. Tidak ada yang tahu kapan Papa akan memasuki kamar ini dan memeriksa seluruh barang milik Dylan. Hanya kunci laci itu yang satu-satunya Dylan sembunyikan.

Ia mencari sebuah buku tipis di antara buku-buku latihan soal yang tebal. Ia sengaja menyelipkan buku itu agar Papa tidak curiga kalau suatu waktu laci ini harus dibuka. Buku itu masih aman pada posisinya. Menariknya keluar, Dylan pun meletakkan buku itu di atas meja belajar.

Sepertinya sudah sangat lama sejak terakhir kali Dylan membuka buku ini. Mungkin ... saat kelas 7? Dari luar, buku ini memang tidak terlihat spesial. Itu hanya buku tipis dengan sampul hitam, tanpa tulisan atau hiasan apapun di sana. Namun, begitu dibuka, Dylan seolah dibawa ke masa lalunya yang penuh warna. Goresan pensilnya begitu nyata—tebal, tipis, teksturnya... Dylan merindukan masa itu.

Buku ini berisi kumpulan gambar hasil tangan Dylan. Dari gambar sederhana, sampai sketsa rumit pernah ia buat. Ya, memang belum bisa dikatakan sempurna, tapi bagi Dylan, buku ini adalah salah satu catatan sejarah hidupnya.

VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang