[3] "Makasih...."

69.4K 8.2K 110
                                    

Laura tidak menyangka kalau SMA negeri di novel online juga memiliki sistem MOS yang khas. Ia pikir, kehidupannya akan berjalan normal ketika masuk sekolah negeri. Namun, ternyata sama saja. Sekolah dunia novel online memang sesuatu. Entah itu kakak super ganteng, super galak, atau kumpulan kakak kelas perempuan berisik, semua ada di panitia MOS ini.

Tidak mau mencari masalah baru, Laura selalu memilih untuk menghindar. Tujuan kehidupannya sekarang adalah tidak menjadi tokoh penting di cerita mana pun. Ia selalu patuh dengan ucapan kakak kelas, meski itu sangat menyebalkan. Laura tidak ingin menjadi pusat perhatian lebih dari yang ia terima sekarang. Cukup dengan titel alumni SMP Edelweiss yang memberatkan pundaknya.

Laura terus mengulang motivasi hidupnya ketika kelakuan kakak kelas semakin menjadi-jadi. "Gue harus jadi cewek biasa saat SMA, dan jadi wanita karir yang sukses kemudian!".

Bagaimana pun, kehidupannya saat itu hanya sampai pada masa SMA. Ia bahkan belum pernah merasakan kebaya dan ijazah kelulusan SMA-nya.

Laura menghela napas dan melihat kedua tangannya yang masing-masing memegang batu kerikil dan kuas cat minyak. Entah apa maksud kakak-kakak kelas itu dengan menyuruh kelasnya mengecat seluruh batu di halaman sekolah ini dengan cat air warna-warni. Apa mereka bermaksud membuat sekolah ini menjadi TK? Tidak sekalian saja menyuruh kelasnya menggambar doodle dan bendera merah putih di tembok sekolah.

"Padahal niatnya gue ikut MOS biar bisa kenalan sama kakak OSIS ganteng," ucap Hana sambil mendesah panjang. Dengan wajah yang lusuh, ia mengecat batu dengan warna biru muda.

"Gue masuk SMA biar dapat ijazah buat masuk kuliah. Eh, malah diajarin mainan anak TK begini," jawab Laura.

Hana melirik Laura. "Haruskah kita menjadi rebel?"

Laura menggeleng dramatis, sama seperti gaya bertanya Hana tadi. Keduanya lalu menghela napas bersamaan. Meski bawel dan terlihat suka semaunya sendiri, Hana sepertinya tidak mau menjadi pusat perhatian juga. Dia selalu menuruti semua ucapan dan suruhan kakak kelas. Kalau pun merasa tidak suka, ia hanya mengeluh pada Laura atau Radit.

Omong-omong tentang Radit, sepertinya cowok itu mendapat privilege dari wajah gantengnya. Kakak kelas cewek yang genit sering sekali mengerubunginya, bersikap sok akrab, sampai menawarinya bantuan ketika dikerjai oleh kakak kelas cowok. Seperti sekarang, Radit dikelilingi dua kakak kelas cewek yang ikut membantunya mewarnai batu-batu. Dan yang lebih menyebalkan, cowok itu sepertinya senang saja mendapat bantuan dari kakak-kakak kelas itu.

"Ck!"

Laura dan Hana sekali lagi berdecak sebal. Padahal baru dua hari berkenalan, tapi kontak batin mereka lumayan kuat.

"Ayo, cepetan!"

Laura kira teriakan itu ditujukan untuknya atau Hana yang sedari tadi terus mengeluarkan desahan malas. Ia pun memutar kepalanya dengan cepat. Namun, tidak ada kakak kelas cowok yang berada di dekatnya.

Namun, mata Laura menangkap seorang cewek yang memakai pita hijau tengah dikelilingi oleh lima atau enam kakak kelas di dekat pohon jambu sana. Tidak hanya kakak kelas cowok, tapi juga ada beberapa kakak kelas cewek yang asyik merekam kejadian itu dengan ponselnya. Cewek itu berdiri berhadapan dengan seorang kakak kelas cowok yang duduk sambil bersilang kaki. Kepala cewek itu terus tertunduk dan ia menggenggam sebuah amplop berwarna merah muda.

Kampungan banget sih, gumam Laura dari hati sambil memutar bola mata. Memilih untuk tidak peduli, Laura pun akhirnya hanya menggelengkan kepala dan kembali melanjutkan tugasnya.

"Gila tuh cewek diincer terus."

Bisikan Hana di sebelahnya membuat Laura yang tengah mengecat batu kembali menoleh. Ia pun mengikuti arah pandang Hana ke cewek berpita hijau di sana.

VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang