[2] New "Friends"

78.4K 8.8K 359
                                    

Akhirnya babak pertama berjalan dengan lancar.

Setelah berhasil menghindari pertemuan pertamanya dengan Dylan di pesta jamuan hari itu, hidup Laura terasa jauh lebih mudah. Tidak ada lagi drama jatuh cinta pada pandangan pertama, apalagi sampai berujung pada kematian. Laura juga berhasil melaksanakan rencana pertamanya, yaitu masuk SMA negeri. Dengan begitu, ia berharap sampai lulus tidak akan bertemu dua orang itu.

Tidak mudah sebenarnya membujuk papa agar mengizinkan Laura masuk SMA negeri. Ia harus meriset beberapa sekolah dulu sebelum akhirnya memilih satu sekolah negeri yang memiliki fasilitas hampir setara dengan SMA Pramulia. Di cerita sebelumnya, SMA Pramulia digambarkan sebagai SMA berskala internasional yang dikelola oleh keluarga besar Pramodjo. Selain itu, fasilitas sekolah pun lengkap dan berstandar internasional, mulai dari A sampai Z. Ibaratnya, tidak naik kelas pun akan disebut pintar di sekolah itu.

Akhirnya setelah berpikir panjang, Laura memilih SMA Negeri 26 ini. Laura menatap gerbang kokoh dengan tulisan timbul besar-besar di atasnya. Hari ini adalah hari pertama masa orientasi. Meski masih memakai seragam SMP dengan rambut dikuncir dua berpita merah, Laura tetap tidak bisa menyembunyikan rasa antusiasnya. Apalagi kalau bukan karena ia akan bertemu teman-teman baru. Bukan teman toxic dan cowok menyebalkan seperti di cerita sebelumnya.

Langkah pertama diambil Laura dengan pasti. Sekolah negeri ini tidak kalah dengan sekolah swasta yang Laura tahu. Fasilitas pendidikannya lengkap, dari perpustakaan sampai lab fisika. Halaman parkir guru dan murid yang terpisah. Dan juga, katanya klub eskul dari sekolah ini paling sering mendapat juara di perlombaan tingkat daerah dan provinsi.

Laura menarik napas panjang sambil tersenyum lebar. Laura tidak malu bersekolah di sekolah negeri. Lagi pula orang tuanya selalu tepat bayar pajak, jadi sesekali ia harus menikmati fasilitas negara ini.

Laura menepuk pundaknya sendiri. "Di cerita kali ini, lo harus hidup sampai tua, Lau. Lo harus jadi CEO dan punya banyak duit!"

"Bengong, aja, Mbak."

"AYAM!"

Laura terlonjak kaget dan berbalik badan dengan cepat. Hal yang pertama ia lihat adalah leher seseorang. Tepatnya seorang cowok, karena Laura melihat jakunnya bergerak. Ia pun mengangkat pandangan, sehingga bertemu pandang dengan cowok tinggi yang memakai topi dari potongan bola plastik yang dicat merah. Cowok itu tersenyum lebar pada Laura.

"Halo! Anak IPA 1 juga, 'kan?"

Laura, yang sedikit terhipnotis dengan senyuman itu, mengerjapkan mata. "Hah? Apa?"

Cowok itu menunjuk sesuatu di atas kepala Laura. "Pita merah. Berarti kelas IPA 1, 'kan?"

Laura refleks menyentuh pita ikat rambutnya, lalu memperhatikan topi bola yang dipakai cowok itu. Benar juga. Kakak OSIS menyuruh kelasnya memakai atribut serba merah untuk identitas. Karena terlalu bersemangat pagi ini, Laura jadi tidak terlalu memperhatikan detail itu. Ia hanya memakai apapun yang disuruh.

"Iya," jawab Laura singkat, lalu tertawa canggung.

"Jadi ... La ... Laura!" cowok itu menyipitkan matanya ketika membaca nama Laura di nametag berbentuk bulat yang tergantung di leher. Cowok itu mengulurkan tangan kanannya. "Gue Radit. Salam kenal, ya."

Meski sudah mendengar jelas nama cowok itu, Laura refleks melihat nametag-nya. Radityo Bryan P—begitulah yang tertulis di sana. Dari SMP Negeri 18, yang setahu Laura juga salah satu sekolah negeri elit. Dan satu yang menarik dari nametag itu sampai membuat Laura tidak bisa berpaling adalah tentang motto hidup Radit.


[3B: Bersyukur, Bahagia, Berkembang.]


VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang