[Special Extra] Papa

31.5K 3.3K 166
                                        

Apa-apaan anak ini?!

Padahal masih membekas sakit hati Yuda ketika Dylan mentah-mentah menolak putri semata wayangnya. Memangnya apa yang kurang dari Laura sampai-sampai ia lebih memilih anak perempuan biasa itu? Yuda bahkan mau memberikan apa saja kalau Dylan benar-benar ingin bersama putrinya.

Namun, apa yang dilakukan Dylan sekarang? Kembali mendekati Laura setelah membuangnya begitu saja? Kali ini, Yuda tidak akan bersikap lembut lagi. Meskipun Laura terlihat baik-baik saja ketika bersama Dylan, Yuda tidak boleh lengah. Ia tidak ingin melihat putri cantiknya menangis gara-gara anak ingusan itu.

"Gimana kabar kamu hari ini?" tanya Yuda sambil mengusap lembut rambut Laura.

Laura, yang sudah duduk di ranjangnya, tersenyum pada Yuda. "Udah lebih baik," jawabnya. "Papa kenapa langsung ke sini, sih? Pulang dulu terus mandi dong! Bau tau!"

Awalnya, Yuda agak skeptis dengan jawaban "baik" dari Laura. Namun, setelah mendengar putrinya sudah bisa bercanda seperti itu, ia menjadi lebih lega. Setidaknya ia bisa melihat kembali rona kehidupan di wajah Laura.

Delapan hari lalu, hatinya hancur lebur melihat keadaan mengenaskan Laura. Selama lima hari putrinya terbaring dengan wajah pucat. Seluruh alat yang terpasang di tubuh mungilnya justru membuat Yuda semakin ketakutan. Sekali saja dokter mencabut alat-alat itu, Laura mungkin pergi ke tempat mamanya berada.

"Papa udah kangen sama Laura."

Laura berdecak, tapi sedetik kemudian ia tertawa pelan. Laura-nya ini memang sangat manis. Yuda tidak terima ketika bajingan itu membuat wajah bak malaikat ini penuh dengan goresan. Ia harus membuat bajingan itu membayar semua ini.

"Dyl, duduk aja lagi. Santai aja."

Ucapan Laura membuat Yuda melirik ke balik punggungnya. Ah, ternyata anak itu masih setia berdiri di sana, seperti anjing penjaga. Dilihat dari mana pun, watak anak ini berbanding terbalik dengan Laura. Bisa dibilang ... Dylan justru lebih mirip Yuda sendiri. Ia kaku, tidak banyak bicara, penuh perhitungan, tapi di satu sisi memiliki insting yang tajam. Ketika ia menemukan sesuatu yang berharga, ia tidak akan mudah melepaskannya.

Yuda benci sisi yang satu itu. Ia bisa melihat bagaimana Dylan begitu berambisi ingin menjaga Laura—seperti dirinya.

Sekali lagi, Yuda mengabaikan keberadaan Dylan dan berbicara pada Laura dengan nada lembut. Tangannya terus menggenggam tangan mungil Laura. "Berkas-berkas kepindahan kamu udah lengkap. Begitu dokter izinin kamu pulang, kita bisa langsung pindah."

Laura menghela napas dan mengerucutkan bibir. "Padahal aku masih mau main sama teman-teman."

Sekilas, keputusan ini memang terdengar egois. Namun, ia dan Laura sudah membicarakan hal ini sebelumnya. Laura terus menangis saat itu, tapi pada akhirnya menerima juga. Yuda pun mengerti, pasti berat bagi Laura meninggalkan teman-temannya di sini.

"Ini demi kebaikan kamu, Ra," ucap Yuda. Ia tidak ingin kecolongan seperti waktu itu. "Setelah ini, kamu nggak perlu khawatir lagi. Masalah baji—maksudnya penjahat itu juga udah Papa atasi. Papa nggak bakal biarin kamu terluka lagi, Sayang."

Yuda melempar lirikan panas ke Dylan. "Termasuk dari cowok-cowok yang mau deketin kamu," ucapnya penuh penekanan di setiap kata. "Semua harus lulus ujian dari saya kalau mau deketin Laura."

"Ya, Om."

Yuda terkesiap. Tubuhnya langsung berputar cepat menghadap Dylan. "Saya nggak bicara sama kamu!"

"Saya ... cuma merasa, Om."

Berbanding terbalik dengan ucapannya yang terdengar penuh kehati-hatian, tatapan Dylan terlihat sangat yakin. Ia bahkan berani menatap langsung mata Yuda. Ternyata nyali anak ini tidak bisa dianggap remeh.

"Ujian saya itu sangat sulit." Yuda melipat tangannya di dada dan menyilangkan kaki. "Jadi nyerah aja. Daripada kamu sakit hati."

"Baik, Om."

Yuda semakin jengkel. Berbalik badan, ia pun menyahut dengan nada ketus. "Udah saya bilang, saya nggak bicara sama kamu!"



---------------------

Tim Papa Yuda angkat tangan!!

VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang