[11] Boom!

48.5K 5.9K 245
                                    

Eh, gitu doang?

Laura menegakkan punggung dan beranjak beberapa langkah untuk memastikan matanya tidak salah lihat. Dylan jelas-jelas melirik Bulan, tapi kenapa ia tidak bereaksi apa pun? Bulan pun sama. Ia malah lebih parah, sama sekali tidak melihat ke arah Dylan dan hanya berjalan begitu saja. Harusnya ini menjadi adegan mendebarkan penuh kata-kata berbalut madu, bukannya adegan membosankan seperti itu.

Laura mendesah kesal sambil memutar bola mata. Sebenarnya apa yang diinginkan penulis novel ini sih?! Apalagi setelah melihat mereka berdua, Laura yakin kalau dua orang itu belum saling mengenal.

"Woy!"

Kalau memang pada akhirnya Dylan bersama Bulan, bukankah lebih baik jika mereka mengenal lebih cepat? Dengan begitu, Laura tidak perlu menjadi tokoh antagonis lagi.

"Laura!"

Mendengar namanya dipanggil, Laura memutar kepala—mencari siapa yang memanggil. Saat itu juga ia baru sadar kalau sudah keluar dari tempat persembunyiannya. Matanya berhenti bergerak, dan tubuh Laura menjadi kaku. Laura tidak berani melihat ke arah gerbang. Dalam hati, ia terus merutuki kebodohannya.

Terus sekarang apa? Kabur? Ah, benar! Namun, sebelum kakinya mengambil langkah pertama, suara itu kembali memanggilnya.

"Mau kabur?"

Suara Dylan terdengar lebih jelas dari sebelumnya. Dan benar saja, ketika Laura menoleh, Dylan sudah ada di depannya. Kesempatan Laura untuk kabur pun hilang sudah. Ia hanya bisa tertawa canggung di depan Dylan.

"Hai," sapa Laura basa-basi. "Ngapain lo di sini? Jemput Radit? Dia masih latihan di lapangan. Kalau gitu, gue mau—"

"Ada yang mau gue omongin sama lo."

Sialan! Lagi-lagi rencana kabur Laura gagal.

"Apa?"

Bukannya menjawab, Dylan malah memberikan helm pada Laura. "Kita ngobrol di tempat lain."

Laura tidak mengerti apa yang membuat karakternya dulu tergila-gila pada cowok bersifat jelek ini. Lihat saja, tanpa menunggu jawaban Laura, ia sudah berjalan kembali ke motornya. Dylan naik ke atas motor dan memakai helm. Begitu menyadari Laura masih berdiri di tempat yang sama, Dylan akhirnya menaikan kaca helmnya. Ia tidak berkata apa pun, tapi tatapan matanya seolah berteriak: "Nunggu apa lagi sih?! Cepat naik!".

Laura memutar bola mata sambil menghela napas panjang. Dengan terpaksa ia menghampiri cowok itu. Dylan pun kembali menurunkan kaca helm dan menyalakan mesin motornya, membuat Laura semakin ingin menendang cowok itu. Laura tidak juga naik ke motor meski cowok itu sudah bersiap tancap gas.

"Kenapa?" tanya Dylan, sambil menaikan kaca helmnya lagi.

"Kita ngobrol di sini aja, bisa?"

"Kenapa?"

Ternyata cucu kebanggaan Pramodjo memiliki kosakata yang sangat sedikit. Harusnya Laura yang bertanya seperti itu; kenapa Dylan ingin berbicara padanya?! Ini bahkan baru pertemuan ketiga mereka. Apa tidak ada sekadar basa-basi untuk mencairkan suasana?

Laura pun berpikir, sepertinya melarikan diri bukan cara yang tepat untuk menghadapi Dylan. Cowok itu lebih menyeramkan dari seekor hyena. Ia akan terus mengejar sampai mendapatkan mangsanya.

"Lah, terus kenapa kita harus ke tempat lain buat ngobrol?" Laura balik bertanya dengan alis berkerut. Setelah itu ia menyerahkan helm di tangannya pada Dylan. "Dan gue nggak mau naik motor."

VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang