[21] Her Existence

30.6K 4.1K 170
                                    

Mood Dylan sepertinya sedang buruk hari ini. Dari awal mereka bertemu saja Dylan terus berwajah masam. Ia langsung menarik tangan Laura masuk ke dalam GOR begitu ia tiba tanpa mengucapkan apa pun. Lalu, sepanjang pertandingan tadi, ia terus diam sambil sesekali mendengkus. Ia juga tidak terlihat antusias ketika Radit mencetak angka. Bahkan ketika kemenangan sudah di depan mata, Dylan hanya bertepuk tangan seadanya dengan wajah datar.

Jika mengingat cerita Radit tentang Dylan, rasanya cukup mustahil kalau mereka saling membenci. Lagipula, misalnya Dylan benar-benar tidak menyukai Radit, ia tidak mungkin datang ke pertandingan ini, 'kan? Apalagi sampai harus bergabung dengan teman-teman Radit. Laura menduga, ini mungkin ada hubungannya dengan keluarga Dylan—terutama papanya.

"Lo nggak balik?"

Dylan bertanya setelah pertandingan resmi berakhir. Orang-orang berbondong-bondong meninggalkan GOR, tapi Laura dan teman-temannya masih duduk di kursi sambil mengobrol.

"Nanti, masih rame."

Dylan melihat ke arah kerumunan orang di pintu keluar. "Ya ngantre aja dulu."

"Emangnya lo nggak mau nunggu Radit?" Alis Laura terangkat. Kecurigaannya kalau Dylan memang berselisih dengan Radit kembali muncul. "Dia baru menang loh."

"Ini masih babak penyisihan," jawab Dylan sambil memutar bola mata.

Ya, memang benar kata Dylan bahwa ini masih babak penyisihan. Pertandingan selanjutnya akan diadakan dua hari lagi dan itu berarti mereka tidak bisa melihatnya langsung. Tapi, apa salahnya jika merayakan kemenangan kecil itu? Anggap saja sebagai bentuk reward untuk kerja keras Radit. Mendengar nada bicara Dylan tadi, sepertinya cowok itu benar-benar tidak mau berada di sini lagi.

Laura mendengkus. "Ya udah kalau mau pulang, duluan aja."

"Lo yang ngajak gue, jadi lo juga harus balik."

"Lo bisa nolak, 'kan?" Laura tidak mau kalah. Ia juga mulai menggunakan nada ketus pada Dylan. "Lagi pula Radit itu sepupu lo sendiri!"

"Woy, suami-istri! Kenapa berantem mulu sih?"

Laura dan Dylan mendelik secara bersamaan ke arah Hana. Mereka tidak sadar jika sedari tadi menjadi pusat perhatian keempat orang yang masih duduk di sana. Laura tidak mengerti apa yang membuat Hana memanggil mereka dengan sebutan "suami-istri". Ya ... memang, di cerita sebelumnya, mereka hampir menjadi pasutri muda gara-gara perjodohan konyol. Namun, di cerita kali ini, Laura lebih memilih menjadi perawan tua daripada menikah dengan cowok berkepribadian buruk macam Dylan.

"Suami-istri... suami-istri... kalau ngomong yang masuk akal dikit dong, Na!"

Karena masih terbawa emosi, Laura pun membalas perkataan Hana dengan nada ketus. Ia pun melempar lirikan panas pada Dylan yang hanya mendengkus.

Hana sepertinya tidak terpengaruh dengan cara bicara Laura itu. Ia malah terkekeh bersama Alvin dan Mou.

"Masalah keluarga tolong jangan dibawa ke tempat umum!" ucap Alvin, menambah buruk keadaan.

"Please deh, Vin!"

"Udah, baikan sana!"

Laura tidak mengerti lagi apa yang terjadi pada teman-temannya. Meski ia sudah bertekad untuk tidak menghindari Dylan lagi, tapi bukan berarti hubungan mereka bisa seperti itu. Laura mengatakan pada dirinya sendiri, bahwa ini adalah batas terdekat hubungannya dengan Dylan. Jika lebih dari ini, ia mungkin akan mati lebih cepat. Apalagi sekarang Dylan dan Bulan sudah saling mengenal.

Ah, benar. Bulan.

Cewek itu tidak mengucapkan apa pun, tapi senyum tipis yang diulaskan ketika Hana dan yang lain menggodanya. Hal tersebut cukup membuat dahi Laura berkerut. Ia semakin tidak paham ke mana si penulis membawa cerita ini. Bulan dan Dylan sudah saling bertemu, tapi tidak ada tanda-tanda mereka saling tertarik. Selain itu, Bulan pun sudah punya pacar, meski LDR. Namun di satu sisi, Dylan pun tidak pernah memperlakukan Laura dengan baik. Jadi, bagaimana nasib hidupnya sebagai antagonis nanti?

VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang