Gue pernah bermimpi aneh....
Tangan Laura yang sedang memegang pulpen terhenti di udara. Begitu banyak cerita yang ingin ditulisnya, tapi entah kenapa ia merasa ragu. Apa karena itu terlalu rumit dan gila? Mungkin. Laura sendiri tidak yakin dengan mimpi itu.
Rasanya terlalu nyata untuk disebut "mimpi". Ingatan samar itu tumpang tindih dengan ingatannya sebelum kecelakaan. Laura masih ingat debaran jantungnya, sentuhannya, bahkan setiap embusan angin yang dirasakannya. Ia juga ingat kalau dirinya sedang berada di perpustakaan untuk mencari topik skripsi sebelum rasa kantuk luar biasa itu menyerangnya yang sedang membaca novel.
Begitu terbangun, Laura melihat lampu yang begitu terang di langit-langit yang tinggi. Orang-orang sahut-menyahut memanggil namanya. Laura yang tidak mengerti situasi itu, langsung dibanjiri banjir memori yang berputar cepat. Akhirnya ia paham dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya ini. Ia baru saja mengalami kecelakan hebat.
Laura menatap kedua tangannya yang penuh luka dan dipasang selang infus. Tangan ini berbeda dirinya di mimpi itu. Ia tidak sekurus ini. Laura pun menyentuh rambut ikal yang jatuh di dadanya. Dirinya di sana mempunyai rambut hitam lurus dengan panjang sebahu. Dirinya yang berasal dari keluarga biasa saja, menjalani kehidupan yang sangat normal. Bahkan dirinya cenderung bosan dengan rutinitas itu.
Jauh berbeda dari Laura saat ini.
"Laura?"
Laura mengangkat kepala dan melihat Dylan masuk ke kamar inapnya sambil membawa totebag dari supermarket. Ia langsung menutup buku harian yang belum selesai ia tulis. Ia pun tersenyum tipis sambil membenarkan posisi duduknya, meski Dylan menatapnya dengan dahi berkerut.
"Harusnya nggak perlu datang setiap hari."
Ini adalah hari ketiga setelah Laura bangun dari tidur panjangnya. Pada tiga hari itu, Dylan selalu datang menjenguk. Entah itu ketika pagi hari sebelum berangkat sekolah atau di sore sampai malam. Ia juga pernah menginap satu malam waktu itu, sebelum akhirnya papa Laura melarangnya bermalam dengan keras. Meski begitu, Dylan tidak pernah datang dengan wajah manis. Ia selalu saja mengerutkan dahi dan mengomel—dengan nada dingin—ketika Laura melakukan sesuatu selain rebahan di ranjang. Kali ini pun sepertinya Laura harus siap dengan omelannya.
"Gue mau," jawab Dylan singkat sambil meletakkan totebag di meja dekat sofa. "Gimana hari ini?"
Laura mengangkat bahu. "Kayak yang lo lihat."
Dylan berjalan mendekat ke ranjang Laura. Ia langsung mendesah begitu melihat buku harian di meja kecil, di depan Laura. Tatapannya seolah ingin membakar buku tak berdosa itu.
"Kenapa nggak istirahat?"
"Gue udah tidur lima hari penuh." Laura menyembunyikan buku hariannya di balik selimut, khawatir Dylan benar-benar akan membakarnya. "Bukannya itu udah cukup?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain
Ficção Adolescente[Laura adalah tokoh antagonis yang memiliki akhir hidup menyedihkan.] Aku tidak mau menjadi Laura yang seperti itu---itu adalah tekad yang pasti ketika aku sampai di dunia ini. Aku ingin mengubah jalan hidup Laura. Laura harusnya menjadi wanita kar...