[29] Hope(less)

23.2K 2.9K 42
                                    


Kayaknya ada yang aneh.

Firasat ini sama seperti yang kemarin Radit rasakan. Laura memang datang sambil tersenyum seperti biasa, menyapanya seperti biasa, dan bertingkah seperti biasa, tapi Radit tetap merasakan ada yang aneh dari semua kebiasaan itu. Radit terus memperhatikannya sampai cewek itu duduk di kursi. Ia bahkan tidak mendengarkan lagi obrolan Panji dan Gio yang sedang membahas pertandingan bola tadi malam.

"Lo masih kurang enak badan?"

"Hm?" Laura menoleh dengan wajah bingung. "Nggak, kok."

"Tapi—" dan pada akhirnya, Radit tidak bertanya lagi.

Meski Radit mencoba untuk mengabaikannya, ia tetap penasaran dengan keadaan Laura hari ini. Seperti ... ada sesuatu yang mati di sana. Tatapan mata Laura tidak secerah biasanya.

Laura mengambil buku mewarnai dari dalam tas, lengkap dengan pensil warnanya. Setelah cukup lama mengenal Laura, Radit mulai hapal kebiasaan cewek itu. Mewarnai gambar bukan hanya sekadar hobi untuk Laura, tapi adalah caranya untuk menghilangkan stres.

Namun, di satu sisi, Radit harus menghargai privasi Laura. Mungkin cewek itu belum siap berbagi cerita, mungkin juga itu adalah masalah pribadi yang harus diselesaikannya sendiri. Mengenyahkan pikiran negatifnya, Radit pun memutuskan untuk kembali bergabung dengan Panji dan Gio. Meski begitu, ujung matanya sesekali melirik ke arah Laura.

"Bulan?! Lo kenapa?!"

Pekikkan Dinar membuat satu sekelas menjadi hening tiba-tiba. Pandangan mereka tertuju pada Bulan yang masuk ke dalam kelas dengan seragam kotor. Bukan hanya seragam, wajah dan rambut Bulan pun berantakan. Terlihat jejak air mata di kedua pipinya. Cewek itu terlihat sangat kacau.

Radit tidak buta, ia tahu kalau Bulan menjadi bahan rundungan beberapa anak cewek di sini. Wajah dan prestasi Bulan membuat mereka iri. Terlebih kondisi ekonomi keluarga Bulan yang tidak beruntung. Radit pun tahu, banyak cowok di sekolah ini yang mengincar Bulan, bahkan sampai rela putus dengan pacarnya. Sudah tidak terelakan jika Bulan menjadi pusat perhatian di SMA 26.

Bulan tidak menjawab pertanyaan Dinar. Matanya yang sembab itu mengarah ke tempat Radit, atau ... lebih tepatnya ke Laura? Saat Radit menoleh, ia melihat Laura yang juga sedang menatap Bulan. Tatapan itu tidak bisa Radit deskripsikan, seperti acuh tak acuh. Sebelum Radit bertanya pada Laura, cewek itu beranjak dari kursinya dan keluar kelas—tanpa mengucapkan apapun.

***

Kepala Laura dipenuhi bayangan Bulan. Rasanya seperti ia pernah mengalami hal ini sebelumnya—melihat Bulan dirundung, mulai dari verbal, sampai akhirnya berujung pada fisik. Di cerita terdahulu, Laura dan teman-teman adalah pelakunya. Namun ... siapa pelakunya kali ini? Apa itu artinya Laura sudah dikeluarkan dari peran antagonis?

"Rasain si Bulan!"

Laura, yang baru ingin melewati tangga, menghentikan langkah. Ia mundur satu langkah dan bersembunyi di balik tembok. Niat untuk buang air kecil pun tidak lagi menjadi prioritas Laura.

"Itu akibat kalau udah miskin, masih sombong!"

"Laura juga sok baik! Kita jadi harus ngotorin tangan sendiri deh."

Suara tawa menggema sesaat sebelum seseorang mendesis, mungkin menyuruh yang lain untuk tidak terlalu keras. Laura mengerutkan dahi. Ia merasa dikambinghitamkan di sini. Bulan memang menjadi sebuah masalah di hidupnya, tapi Laura sama sekali tidak berniat melukai cewek itu. Orang-orang itu hanya menjadikan Laura sebagai alasan untuk membenci Bulan.

VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang