Laura tidak mempercayai matanya sendiri. Ia juga melirik jam tangannya lagi, memastikan kalau sekolahnya tidak menyalahi aturan pemerintah tentang batas waktu belajar-mengajar. Namun, ia tidak salah lihat, jam di tangannya pun masih menunjukkan pukul 2.40—artinya baru 10 menit setelah jam terakhir berbunyi. Jadi, kesalahan sebenarnya ada pada Dylan, yang sudah berdiri di tempat biasa, di depan SMA 26.
"Kenapa nggak balas chat gue?"
Laura bahkan belum mengucapkan apa pun, tapi Dylan sudah bertanya dengan sinis. Mata di balik kacamata berbingkai hitam itu berusaha mengintimidasi Laura. Mungkin karena Laura sudah mulai terbiasa dengan tatapan itu, ia tidak lagi takut. Laura malah bingung dengan kehadiran Dylan yang tiba-tiba ini.
"Lo ... chat gue?" sahut Laura, pura-pura bodoh. Tentu, ia masih teringat jelas chat dingin beberapa jam lalu yang diabaikannya.
"Lo baca, 'kan?"
Sepertinya pembicaraan ini akan terus begitu—saling melempar pertanyaan bodoh. Dulu, ketika membaca novel ini, Laura selalu merasa kalau Dylan adalah sosok yang keren, terlepas dari sikapnya yang dingin dan cuek. Namun, Dylan yang ada di depannya ini jauh dari kesan itu. Ia adalah cowok menyebalkan yang selalu memerintah.
Laura pun menghela napas, menghentikan permainan ini. "Gue nggak tahu siapa yang chat."
"Kemarin gue chat lo juga."
"Nggak gue save nomornya." Laura mengangkat kedua bahunya.
Dylan sepertinya kehabisan kata untuk menanggapi ucapan Laura tadi. Melihat itu, Laura mengangkat sudut bibirnya. Sudah saatnya Laura mengajarkan tata krama pada cowok sombong ini.
"Kalau lo chat orang yang bukan teman, ada baiknya perkenalan dulu, 'kan?" kata Laura. "Hampir aja gue kira lo tukang tagih utang."
Seperti dugaan Laura, Dylan sama sekali tidak tertawa mendengar lelucon itu. Cowok itu malah jelas-jelas memutar bola mata di depan Laura. Kenapa sekarang jadi terkesan Laura yang melakukan kesalahan? Sudah baik Laura tidak langsung memblokir nomor Dylan, tapi cowok itu malah membalasnya begini.
"BTW, kok lo udah ada di sini? Emang sekolah lo balik jam berapa?" Laura memiringkan kepala. Dahinya berkerut sambil menatap Dylan dari atas sampai bawah.
Dylan berdeham pelan. "Gue bolos jam terakhir."
"Hah?"
Kalau dipikirkan lagi, rasanya wajar saja Dylan tidak mendapat masalah walaupun bolos seharian penuh. Siapa yang mau melawan pewaris Pramulia? Laura ingat, di novel sebelumnya pun Dylan sering sekali membolos dengan alasan konyol. Ketika Bulan sakit, ketika Bulan dirundung, atau bahkan ketika Bulan tiba-tiba ingin makan es krim. Yah ... meskipun bolosnya Dylan kali ini pun tidak bisa dibilang masuk akal juga.
Laura memilih untuk mengabaikan fakta itu. "Terus? Sekarang mau apa? Udah, 'kan marahin gue-nya?"
Dylan tidak langsung menjawab. Matanya hanya menatap lurus Laura, sebelum akhirnya satu kalimat pendek—yang kembali membuat dahi Laura berkerut—terucap.
"Gue mau makan cake."
***
Makan cake bersama teman memang bukan hal yang aneh. Namun, kalau hal itu diminta oleh Dylan, rasanya seperti matahari terbit di sisi yang salah hari ini. Meski begitu, Laura tidak bisa berkata "tidak" ketika menyadari Dylan jauh-jauh datang dari Pramulia ke SMA 26 hanya untuk memarahinya. Walaupun itu sama sekali tidak membuat Laura tersentuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain
Teen Fiction[Laura adalah tokoh antagonis yang memiliki akhir hidup menyedihkan.] Aku tidak mau menjadi Laura yang seperti itu---itu adalah tekad yang pasti ketika aku sampai di dunia ini. Aku ingin mengubah jalan hidup Laura. Laura harusnya menjadi wanita kar...