[27] Game Start!

24.3K 2.9K 79
                                    

"Laura!"

Laura berhenti melangkah dan menoleh ketika seseorang memanggilnya di koridor lantai satu. Ia langsung mengerutkan dahi begitu melihat Aby dan Flo menghampirinya dengan langkah lebar. Laura memang mengenal mereka karena keduanya cukup menonjol di sekolah. Namun, Laura tidak bisa menemukan jawaban kenapa mereka sampai memanggil Laura. Hubungan mereka tidak sedekat itu untuk saling mengucapkan selamat pagi.

Sebelum Laura bertanya, Flo sudah mengulurkan ponsel yang menampilkan tangkapan layar story yang diunggahnya kemarin.

"Ini cowok lo?" tanya Flo.

Laura meliriknya sekilas, sebelum kembali pada Flo. "Kenapa?"

"Bulan emang sesuatu, ya." Aby mendesah kesal sambil tersenyum sinis. "Lo tahu, kemarin gue lihat cowok lo deketin Bulan. Bahkan mereka ngobrol di kafe abis itu. Akrab banget lagi."

Laura tidak terlalu fokus pada nada bicara Aby yang mengomporinya, tapi lebih ke isi kalimat itu. Dylan menemui Bulan? Jadi ... cerita mereka berdua memang berjalan tanpa diketahui Laura—seperti dugaannya waktu itu. Dan mengetahui kalau Dylan tidak membahas apapun tentang Bulan kemarin, rasanya ada sisi hati Laura yang merasa dikhianati.

Laura benci dengan dirinya yang seperti ini.

"Jadi Bulan ngerebut pacar lo juga?" tanya Flo, menambahkan minyak ke api yang sudah membara. "Parah sih ... Padahal kalian teman sekelas."

"Labrak aja, Lau!" Aby terlihat jauh lebih marah daripada Laura sendiri. Ia seolah siap menampar Bulan kalau cewek itu ada di hadapannya saat ini. "Dia emang udah kurang ajar dari kelas 10. Maya aja sampai diputusin pacarnya gara-gara—"

"Heh?" Laura mendengkus sinis. "Ini bukan urusan kalian, 'kan?"

Setelah mengucapkan kalimat dingin itu, Laura kembali melangkah menuju anak tangga. Laura pun mengabaikan sindiran pelan mereka yang menyebut Laura sombong. Ia tidak suka mereka berdua terus menyebut nama Dylan dan Bulan. Laura ingin menghentikan ini secepatnya. Ia tidak suka luka kasat mata yang mulai menggores hatinya perlahan ini.

"Lau ...."

Laura terperanjat ketika mendengar sebuah suara memanggilnya. Suara itu bahkan bisa disebut bisikan saking pelannya. Dari samping anak tangga yang remang-remang, Bulan muncul dengan wajah sendu. Kepalanya tertunduk, dan kedua tangannya masih memegang kotak dagangan. Meski tidak yakin, Laura menebak kalau Bulan bersikap seperti ini pasti gara-gara gosipnya dengan Dylan.

Yak, adegan menyedihkan akan segera dimulai, Laura mendesah dalam hati. Tidak bisakah si penulis memberikan hari yang tenang untuk sang antagonis?

"A-Aku mau minta maaf soal Dylan," ucap Bulan pelan, seolah takut orang lain mendengarnya. "A-Aku sama sekali nggak ada hubungan apapun sama Dylan. Kemarin dia cuma nolong—"

"Udahlah, Lan," potong Laura sambil memutar bola mata. "Gue nggak peduli tentang hubungan lo sama Dylan. Toh, gue bukan pacar dia juga."

"Tapi kalian—"

"Kalau lo emang suka sama dia, just go on. I don't fucking care!"

Setelah mengatakan itu, Laura memutar tubuhnya dan menaiki anak tangga. Meninggalkan Bulan saat ini adalah pilihan yang terbaik. Emosi itu meluap tanpa bisa Laura kendalikan, hingga membuatnya mengeluarkan kalimat kasar seperti itu. Belum reda sakit kepalanya karena ucapan Flo dan Aby tadi, tapi Bulan datang dan menambah masalah. Ia mungkin bisa berkata lebih kasar kalau terus berhadapan dengan Bulan.

Dari awal Laura sudah tahu kalau ia dan Dylan memang tidak bisa bersama. Dylan akan tetap memilih Bulan. Namun, ketika ia menghadapi kenyataannya, Laura jadi kesal sendiri. Ia tidak butuh belas kasihan Bulan. Harusnya cewek itu diam dan nikmati saja semua perhatian yang Dylan berikan, bukan terus mengelak seperti itu. Ia membuat peran Laura sebagai antagonis terlihat sangat menyedihkan.

VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang