[12] Dua Mata Pisau

45.5K 5.3K 161
                                    

Waktu bergulir tanpa terasa.

Tahun ajaran baru seharusnya menjadi momen yang menyenangkan bagi setiap siswa sekolah. Mereka akan duduk di kelas baru, mendapat teman sekelas baru, membuka lembaran buku pelajaran baru, dan bisa merasa lebih senior di tingkat baru ini. Namun, tidak untuk Laura. Ia merasakan kekhawatiran besar untuk menghadapi tahun ajaran baru ini. Semua disebabkan karena obrolan di ruang chat bersama Radit, Hana, Mou, dan Alvin.

Mungkin, Laura adalah satu-satunya orang yang ketakutan sampai tidak bisa tidur nyenyak seminggu ini. Ia bukan khawatir menghadapi guru-guru yang lebih keras, atau persaingan ketat bersama murid jenius lainnya di kelas 11 IPA 1. Namun, karena satu nama yang terus membayangi sejak tengah semester lalu.

Bulan.

Seminggu lalu, ketika daftar pembagian kelas tersebar di forum sekolah, Hana meneruskannya ke ruang chat. Laura, Radit, dan Mou berada di kelas yang sama, sedangkan Hana dan Alvin masing-masing di kelas 11 IPA 2 dan 11 IPA 3. Saat itu, Laura penasaran dengan siapa saja yang akan menjadi teman sekelasnya, sekaligus berdoa agar dia tidak berada di kelas yang sama.

Namun, sebagai seorang antagonis, tentunya permintaan seperti itu tidak akan dikabulkan dengan mudah oleh si penulis. Nama Bulan ada di urutan 28 dari 35 siswa di 11 IPA 1. Sejak saat itu, Laura selalu dihantui bayangan Bulan yang tengah menangis. Sampai akhirnya di hari pertama masuk sekolah, Laura terpaksa memakai kacamata minus 0.5-nya agar papa tidak terlalu curiga dengan matanya yang memerah.

"Kalau kamu nggak enak badan, izin aja hari ini," ucap papa. Hanya tinggal satu belokan lagi sebelum mobil mereka tiba di depan SMA 26.

Inginnya Laura begitu, tapi ia juga paham kalau tidak bisa selamanya melarikan diri. Sekarang mereka adalah teman sekelas, cepat atau lambat mereka pasti akan berhubungan. Kalau begitu, lebih baik Laura pindah sekolah. Atau yang lebih jahatnya, ia membuat Bulan yang pergi dari sekolah.

Argh! Kenapa gue nggak jadi pemain figuran aja sih?!

"Nggak apa-apa kok, Pa," jawab Laura sambil memaksakan sebuah senyum. "Laura cuma kurang tidur gara-gara streaming konser."

"Hayoo, kamu udah kelas 11 loh, Lau. Jangan bergadang terus!" Tante Ghina menyahut dari kursi depan.

"Emangnya aku nggak tahu kalau Tante juga suka streaming drakor pas di kantor?" Laura tidak mau kalah. Ia pun terkekeh melihat senyum panik Tante Ghina ketika papa meliriknya dengan sinis.

Tante Ghina mengangkat tangannya. "Kadang-kadang doang, Pak."

Opera sabun singkat itu mampu membuat perasaan Laura lebih baik. Setidaknya, ia bisa tertawa beberapa detik karena interaksi lucu Tante Ghina dan papa. Tanpa terasa, mobil itu tiba di depan sekolah. Laura mengemas tasnya lalu mencium pipi papa dan berpamitan pada Tante Ghina dan Pak Yanto.

"Laura," panggil papa, sebelum Laura menutup pintu. "Telepon Papa atau Pak Yanto kalau ada apa-apa."

Laura membuat tanda OK dengan tangannya. "Siap, Pa!"

Pintu mobil ditutup, dan kemudian mobil itu meninggalkan gerbang depan sekolah. Laura menghela napas dan menatap gerbang sekolahnya. Rasa ini berbeda 180 derajat ketika hari pertama Laura menjadi murid SMA. Waktu itu, ia sangat yakin masa depan yang cerah menunggunya di ujung sana. Namun sekarang, ia merasa itu semua tidak lagi menjadi mudah. Orang itu sudah muncul, seolah mengingatkan Laura akan posisinya sebagai antagonis .

Bagaimana pun, hanya berdiri di depan sini tidak akan menyelesaikan masalah. Laura melangkah masuk dan mencari kelasnya. Banyak wajah-wajah baru yang ia temui di koridor—mungkin mereka siswa kelas 10. Beberapa orang yang mengenal Laura pun menyapanya singkat. Menaiki anak tangga, Laura akhirnya sampai di lantai tiga, tempat kelasnya berada.

VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang