Setelah memastikan seluruh luka Bulan mendapat perawatan, Dylan pun keluar dari Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Dashar. Beberapa menit yang lalu Radit mengirim pesan, mengatakan kalau ia dan Laura sudah ada di lobi rumah sakit. Entah apa yang membuat mereka berdua tidak mau menemui Bulan di sini. Jadi, daripada menduga-duga, lebih baik Dylan menemui mereka langsung.
Di lobi, Laura dan Radit duduk bersebelahan. Radit memainkan ponsel sambil sesekali memeriksa Laura yang terus tertunduk dengan jari yang saling bertautan. Bahkan dari kejauhan pun wajah cewek itu terlihat sangat pucat.
Dylan tahu, cewek itu pasti sangat syok. Dylan sendiri tidak kalah terkejutnya ketika melihat kejadian tadi. Laura yang dikenalnya bukanlah seorang cewek kasar. Ia tidak pernah bermain fisik meski sedang marah sekalipun, paling tidak hanya berucap sinis dan sarkas. Namun, melihatnya sampai melukai Bulan—temannya sendiri—Dylan seperti baru saja melihat sosok iblis yang menjelma jadi Laura.
Ketika Laura tidak juga muncul meski sudah ditunggu selama lima belas menit di kafe, ia pun jadi tidak sabar. Panggilan dan pesan Dylan tidak dijawab. Itulah yang membuat Dylan akhirnya memutuskan untuk menghampiri Laura ke sekolah. Menunggu sama sekali bukan hal yang Dylan sukai, tapi ia rela melakukan itu untuk Laura. Dylan tidak menyangka kalau Laura memberikan kejutan besar atas hadiah kesabarannya menunggu.
Laura membentak Bulan.
Laura mendorong Bulan ke jalan.
Laura membuat Bulan tertabrak mobil yang melintas sampai tidak sadarkan diri.
Pikiran Dylan terlalu panik sampai ia tidak bisa melihat wajah Laura. Ia berlari, berteriak memanggil Bulan, berharap cewek itu bangun dan mengatakan ia baik-baik saja. Namun, Bulan tetap diam. Darah yang mengalir dari kepalanya membuat seluruh tubuh Dylan menegang. Ia takut—takut kalau Laura harus menanggung semua ini sendirian.
Dylan segera mengantar Bulan ke rumah sakit terdekat dengan mobil pelaku. Ternyata Laura dan Radit menyusul kemudian dengan mengendarai motor. Dylan pun tidak bisa langsung menemui mereka karena Bulan masih butuh pendamping. Ia harus menunggu sampai seorang guru dari sekolah Bulan datang.
Menghela napas, Dylan mendekati kursi tempat Laura dan Radit duduk.
Radit yang pertama kali menyadari kehadiran Dylan. Ia pun berdiri dan segera bertanya pada Dylan.
"Dyl, gimana Bulan?"
Dylan melirik sekilas ke arah Laura. Meski cewek itu tidak mengangkat kepala, ia bisa melihat gurat kekhawatiran dari sikapnya. Laura juga pasti menunggu kabar tentang Bulan.
"Nggak ada yang serius," jawab Dylan. "Dia pingsan karena syok, selebihnya cuma luka luar kecil."
Radit menghela napas lega, tapi tidak dengan Laura. Tubuh cewek itu masih terlihat tegang. Radit sepertinya juga menyadari ketegangan Laura. Ia mulai mengusap punggung cewek itu sambil menangkan Laura dengan suaranya yang lembut.
"Bulan nggak apa-apa, Lau."
Dylan tidak bisa berbuat apa pun, dan hanya mengepalkan tangan. Dirinya menahan perasaan aneh yang seakan bisa membuat dadanya meledak.
Satu helaan napas keluar dari mulut Laura. "Gue ... gue sama sekali nggak ada niat lakuin itu," ucapnya pelan dengan suara bergetar. "Tadi cuma kecelakaan."
Kecelakaan atau tidak, Dylan tidak akan menyalahkan Laura. Sedikit menyesal karena dirinya tidak ada di sana sebelum semuanya terjadi. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Bulan ketika bangun nanti. Tiba-tiba Dylan merasa hawa dingin berembus di tengkuknya. Ia mulai khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain
Teen Fiction[Laura adalah tokoh antagonis yang memiliki akhir hidup menyedihkan.] Aku tidak mau menjadi Laura yang seperti itu---itu adalah tekad yang pasti ketika aku sampai di dunia ini. Aku ingin mengubah jalan hidup Laura. Laura harusnya menjadi wanita kar...