Epilog

50.1K 3.1K 247
                                    

Ia tidak lagi menghitung waktu yang bergerak maju. Tangannya yang sedingin es mencoba mencari kehangatan dari tangan mungil di genggamannya. Berharap. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Di tengah kesunyian ruang temaram ini, doanya tidak pernah putus.

Bunyi alat-alat di ruang rawat ini memberinya harapan juga rasa takut. Hanya itu satu-satunya yang memberi tanda kalau jantung gadis yang terbaring di sana masih berdetak. Hatinya menangis ketika melihat wajah gadis itu penuh goresan luka. Tidak ada lagi gurat senyum atau bahkan ekspresi kesal di wajahnya. Gadis itu hanya diam kaku, bernapas pelan seolah mengikuti detik jam yang berbunyi nyaring di ruangan ini.

Harusnya, ia tidak pernah membentak gadis itu. Harusnya, ia selalu berada di dekatnya. Harusnya, ia menjawab lebih cepat panggilan itu. Begitu banyak "harusnya" yang berujung menjadi sebuah penyesalan. Ia tidak pernah membayangkan kalau rasanya sangat sakit. Lebih baik dirinya yang terbaring di sana, daripada melihat gadis itu kesakitan.

Ia takut kehilangannya.

"Laura ...."

Ia tidak peduli apa yang terjadi pada tubuhnya. Asalkan bisa terus menemani gadis itu di sini, ia merasa baik-baik saja. Ia ingin menjadi orang pertama yang gadis itu lihat ketika membuka mata. Meski atmosfer ruangan ini seakan meremas dadanya, Dylan tidak mau berhenti berharap.

Berharap gadis itu masih memberikan kesempatan untuknya menebus kesalahan karena tidak bisa menjaganya.

"I'm so sorry ...."

Ia menggenggam tangan ringkih itu lebih erat. Dua tangannya tertangkup menjadi satu, lagi-lagi berharap doa yang diucapkannya bisa menjadi keajaiban. Ia masih mengingat jelas suaranya yang bergetar meminta tolong, sebelum pekikkan dan bunyi benturan keras terdengar. Jantungnya berhenti saat itu juga. Ia tidak menyangka kalau itu adalah kata-kata terakhir yang gadis itu berikan untuknya.

"Jangan tinggalin gue ...."

Air matanya kembali menetes, membuat kacamatanya berembun tebal. Tangisan ini membuat dadanya semakin sesak. Terakhir ia menangis seperti ini adalah ketika ibunya meninggal beberapa tahun lalu. Julukan "cowok dingin" yang melekat pada namanya membuat ia tidak mudah meneteskan air mata. Bahkan ketika tubuhnya penuh luka pun ia akan berdiri kokoh—berpura-pura menjadi lelaki sejati.

Namun kali ini, ia tidak bisa. Gadis ini berhasil menyentuh titik lemahnya. Satu gerakan jari gadis itu seolah bisa meruntuhkan dunianya.

Lalu, suara berbisik itu mengalun di telinganya.

"D-Dylan ...."



-----------------------

Jadi?

Mau sequel apa bonus?

VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang