[7] Hea(r)tstroke

64.9K 7.8K 201
                                        

"Dylan Nathaniel Pramodjo ...."

"Lo kenal gue?"

Semua perhatian berpaling ke arah pintu yang terbuka dan menampilkan sosok cowok tinggi berseragam putih-cokelat khas SMA Pramulia. Penampilannya lumayan berantakan, bahkan tas punggungnya sudah ada di tangan. Bola mata hitam di balik kacamata itu menatap lurus ke arah Laura. Entah mantra apa yang dirapalkan cowok itu dalam diam, tubuh Laura langsung saja diserang rasa dingin tak biasa begitu bertemu tatap dengannya.

Laura pun memutuskan kontak mata dan pura-pura tertarik pada benda lain di kamar Radit. Cowok itu seolah baru menarik habis seluruh napas Laura. Ia bisa mati kalau terus bertatapan dengannya. Sambil mengatur napas, Laura berpikir jika kelihatannya penulis novel ini sangat membenci karakter antagonis Laura. Ia pasti ingin kembali mematikan karakter Laura. Kalau tidak, kenapa ia harus dipertemukan lagi dengan Dylan?!

Ya, Dylan yang itu. Si tokoh utama.

"Yo, Dyl!" sapa Alvin—sok—akrab. Ia bahkan sampai mengangkat tangannya, meski tidak mendapat respon apapun dari cowok itu.

"Tumben, lo datang cepat?" Radit menghampiri Dylan dengan senyum lebar. Namun, karena karakter dingin yang disematkan penulis, Dylan tidak balas tersenyum.

"Lagi mau," jawab Dylan singkat. Ia pun menatap teman-teman Radit satu per satu, tapi kemudian hanya terpaku pada Laura yang malah memunggunginya. "Sori, gue nggak tahu teman-teman lo mau datang."

"Sini, gabung aja!"

Radit bergabung dengan Alvin yang sudah lebih dulu kembali ke depan PS. Ia pun menepuk tempat kosong di sebelahnya, ditujukan untuk Dylan. Masih memunggungi mereka, Laura berdoa dalam hati agar Dylan menolak ajakan Radit. Ia masih ingin hidup lama di dunia ini. Lagi pula, apa penulis setega itu sampai harus mematikannya secepat ini? Bukan mati karena kecelakaan, tapi mati karena serangan jantung bertubi-tubi,

"Iya, Dyl. Tanding soccer sama—"

"Nggak apa-apa," potong Dylan sebelum Alvin menyelesaikan kalimatnya, "Gue ke ruangan lain aja."

Laura bersyukur si penulis membuat karakter Dylan yang dingin dan cuek seperti itu. Tanpa memikirkan perasaan Alvin atau Radit, Dylan berbalik dan menutup pintu kamar Radit. Setelah mendengar pintu kamar tertutup, desahan napas panjang dikeluarkan Laura. Ia baru bisa memberanikan diri untuk berbalik badan. Untungnya tidak ada yang menyadari tingkah aneh Laura tadi.

"Gila! Aslinya lebih ganteng! Ya 'kan, Lau?"

"E-Eh? I-Iya. Lumayan."

Berbanding terbalik dengan ucapannya, Laura malah mencibir di dalam hati. Buat apa ganteng kalau akhirnya dia penyebab gue mati mengenaskan? Pokoknya gue harus jauh-jauh dari dia.

***

"Lau?"

"Laura?"

"LAURA!"

"Eh? Apaan?"

"Ada telepon."

Pertemuan singkat tapi tiba-tiba itu berhasil menguasai otak Laura. Ia bahkan tidak menyadari kalau teman-temannya berteriak memanggil namanya berkali-kali. Puluhan cara untuk menghindari Dylan terus dipikirkannya sampai tidak menyadari jika ponsel yang tergeletak di lantai terus bergetar, menampilkan nama kontak Tante Ghina. Ia pun mengambil ponsel lalu berdiri.

"Sebentar, ya," pamitnya pada yang lain. Ia membuka pintu kamar Radit yang terhubung dengan balkon, lalu menekan tombol jawab.

"Halo, Tan?"

VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang