[35] Butterfly Effect

30.4K 3.1K 115
                                    


"Besok kita pasti datang ke rumah lo."

"Jangan lupa siapin makanan yang banyak, Lau!"

Alvin langsung dihadiahi pukulan keras di kepala oleh Radit. Tidak ketinggalan Hana yang ikut memberi cubitan pada lengannya. Laura mau tidak mau terkekeh dengan tingkah teman-temannya itu. Hanya Mou yang diam saja dan menatap Laura dengan tatapan sedih. Merasa tidak nyaman dengan perlakuan Mou, Laura menghampiri cewek itu dan mengusap lengannya.

"Setelah ini, semua bakal baik-baik aja, kok."

Mou mendengkus dan mengalihkan pandangan. "Harusnya gue yang ngomong begitu."

Mou kembali menjadi dirinya yang jaim. Sepertinya ia sudah lupa kalau tadi pagi dirinya yang paling erat memeluk Laura, bahkan sampai rela bertengkar dengan Aby. Mou yang dikenalnya memang seperti ini. Dari luar terlihat dingin, tapi ia adalah cewek terhangat yang pernah Laura kenal.

Mereka berlima berjalan beriringan ke tempat Pak Yanto memarkirkan mobil. Radit dan Alvin pun rela telat dari kegiatan klub untuk mengantar Laura. Setelah Laura mengatakan akan pindah sekolah, mereka berempat seolah tidak ingin menjauh sedikit pun. Ke mana pun Laura pergi dan apa yang dilakukannya, setidaknya ada salah satu dari mereka yang menemani.

Sampai di samping mobil Laura, Hana membukakan pintunya. "Ya udah, masuk sana, Lau. Istirahat yang banyak."

Laura tersenyum tipis, lalu melihat seseorang yang berdiri paling belakang. Selain Mou, orang yang bersikap aneh hari ini adalah Radit. Meski duduk di sebelah Laura, ia tidak banyak bicara. Radit pun terlihat seperti selalu menghindari tatapan Laura. Ekspresinya selalu sendu, tidak seceria biasanya. Mata Radit kehilangan sinarnya dan digantikan dengan tatapan penuh penyesalan.

Laura menghela napas dan masuk ke dalam mobil. Sama seperti Radit yang selalu menghormati pilihan Laura, kali ini pun Laura tidak ingin memaksa. Namun, ketika Laura ingin menutup pintu mobil, sebuah tangan menahannya. Radit berdiri di sebelah mobil, menundukkan badannya agar mereka bisa bertatapan.

"Lau, soal Dylan—"

"Kita bahas soal itu nanti aja ya, Dit," potong Laura cepat begitu mendengar Radit menyebut nama Dylan. "Please ...."

Radit terdiam beberapa saat, terlihat ragu apakah menuruti perkataan Laura atau tetap bertanya. Namun kemudian, ia menghela napas panjang dan mengulaskan senyum tipis. Bukan senyum manis penuh kehangatan seperti biasa, melainkan senyum miris yang membuat dada siapa pun berdenyut nyeri.

"Oke. Hati-hati di jalan, Lau." Itu kalimat terakhir Radit sebelum menutup pintu.

Mobil mulai berjalan. Laura pun menyandarkan kepalanya ke kursi. Dylan, ya ... Laura sama sekali tidak mau membahas soal cowok itu. Sejak pertengkaran mereka di rumah sakit, Laura semakin memantapkan hati untuk menjauh dari cowok itu. Memang seharusnya Laura pergi ke tempat yang jauh dari awal. Ia tidak perlu terlibat dengan kisah cinta penuh drama antara Dylan dan Bulan lagi. Sia-sia sudah usaha Laura untuk keluar dari perannya.

Setelah ini, ia berharap benar-benar keluar dari cerita yang ditulis penulis gila ini. Begitu banyak yang dikorbankan Laura untuk bisa menjauh sejauh-jauhnya dari Dylan dan Bulan. Mulai dari persahabatannya, papa, bahkan mungkin hidupnya sendiri. Laura sudah lelah. Ia bukan lagi sekadar ingin menjadi "antagonis yang baik". Ia ingin segera pergi dari cerita ini.

"N-Non Laura ...." panggilan Pak Yanto dengan suara gemetar membuat Laura mengangkat kepalanya. "B-Bisa cepat hubungi bapak?"

Laura menelan air liurnya. "K-Kenapa?"

VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang