Meski Mou mengatakan ingin ke perpustakaan bersama sepulang sekolah, nyatanya Laura harus pergi sendirian. Ia mengatakan kalau English Club—klub yang diikuti Mou—ada pertemuan mendadak sebelum midterm, jadi ia akan menyusul setelahnya. Laura tidak bisa menebak apakah belajar bersama ini akan terwujud atau tidak. Mou sering lupa waktu kalau sudah berdebat pakai bahasa Inggris.
Setelah meletakkan barang-barangnya di loker, Laura pun mengisi daftar hadir di komputer. Ia hanya membawa tempat pensil dan buku catatan kecil ke dalam perpustakaan. Selain ingin belajar, Laura memilih perpustakaan karena jemputannya belum datang. Pak Yanto bilang, ia masih harus mengantar papa bertemu klien jadi meminta Laura untuk menunggu lebih lama.
Alasan lain, perpustakaan sekolahnya memiliki beberapa buku referensi yang sudah tidak ada di toko buku. Meski bukunya sudah tua, banyak orang yang bilang kalau referensi di dalamnya sangat bermanfaat. Setidaknya, hari ini Laura harus bisa mencatat beberapa hal penting yang mungkin saja keluar di midterm.
Laura langsung menuju rak berisi buku-buku sejarah. Dibanding pelajaran eskak, ia cukup kesulitan di pelajaran menghafal. Jadi, hari ini ia berniat akan membuat catatan kecil berisi kata kunci yang mungkin membantunya dalam menghafal. Meski Laura mengambil kelas IPA, pelajaran Sejarah menjadi mata pelajaran yang wajib di sekolahnya. Sepertinya sekolah ini memegang teguh ungkapan terkenal "Jas Merah" itu.
"... tapi kamu tahu, 'kan kalau aku sayang banget sama kamu?"
Langkah kaki Laura terhenti. Tidak hanya itu, sepertinya seluruh tubuh Laura juga mendadak tidak bisa digerakkan. Ini pertama kalinya ia mendengar ungkapan afeksi di publik secara langsung. Perasaan menggelitik mulai menjalar di punggung Laura.
"Kakak ... kakak terlalu baik untuk aku."
Sekarang giliran si cewek yang menjawab dengan suara pelan, tapi Laura—yang tepat berada di rak sebelah—bisa mendengarnya dengan jelas.
"Cuma aku yang bisa ngelindungin kamu dari cowok-cowok berengsek itu, Lan."
Suara cowok lembut itu terdengar familier di telinga Laura. Namun, daripada itu, ia lebih penasaran dengan sosok cewek di sana.
Lan?
"Aku nggak bakal nyakitin kamu kayak mereka."
"Maaf, Kak. Aku udah anggap Kakak seperti abang aku sendiri."
Laura memutar bola mata. Sebuah alasan klasik.
Tidak ingin merasakan gelenyar aneh itu lebih jauh lagi, Laura pun memutar langkahnya. Namun, karena tidak memperhatikan tangannya yang sedari tadi bertengger di rak, Laura tidak sengaja menyenggol satu buku. Satu jejer buku di rak yang tak penuh itu bergoyang dan jatuh telungkup. Memang tidak sampai jatuh dari rak, tapi suara kerasnya yang tiba-tiba itu membuat dua orang di lorong sebelah terdiam.
Laura refleks berjongkok, menghindari tatapan dua orang itu. Sambil menggigit bibir bawahnya, ia tetap memperhatikan kaki mereka—khawatir akan tertangkap basah. Bagaimanapun sikapnya ini tidak sopan. Ia sudah mengganggu sebuah kisah cinta remaja SMA di novel online.
"Oke. Aku kasih waktu untuk kamu berpikir. Kalau kamu udah siap, kamu bisa datang ke aku kapan aja."
Laura menghela napas lega ketika tahu mereka sepertinya mengabaikan insiden buku jatuh itu. Ia pun melihat kaki cowok itu beranjak dari lorong sebelah. Sekarang, hanya tinggal si cewek bernama "Lan" yang masih berdiri di sana.
Masih menggigit bibirnya, Laura berjalan sambil berjongkok. Setelah merasa cukup jauh dari tempat cewek itu berada, barulah ia berdiri dan berjalan seperti biasa—pura-pura tidak menyaksikan apapun. Sepertinya, ia harus melewatkan pelajaran Sejarah dulu. Terlalu canggung untuk kembali ke lorong itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain
Teen Fiction[Laura adalah tokoh antagonis yang memiliki akhir hidup menyedihkan.] Aku tidak mau menjadi Laura yang seperti itu---itu adalah tekad yang pasti ketika aku sampai di dunia ini. Aku ingin mengubah jalan hidup Laura. Laura harusnya menjadi wanita kar...