[9] Mulut Manis Dylan

55.2K 6.6K 109
                                    

Satu langkah pelan diambil Laura, sebelum akhirnya melangkah lebar-lebar. Kalau bukan sedang di acara pernikahan, Laura pasti lari terbirit-birit sambil memanggil papa. Untungnya akal sehat Laura masih bekerja dengan baik di tengah situasi mengerikan tadi. Mata Laura pun bergerak mencari papa, dan akhirnya menemukannya di dekat pintu balkon aula bersama seorang laki-laki yang sepertinya seumuran dengan papa.

Mereka mengobrol akrab sambil memakan kambing guling. Yang menjadi perhatian adalah orang itu memakai kemeja batik yang sama seperti Radit dan Dylan, dengan kata lain adalah salah satu dari keluarga Pramodjo. Laura merasa déjà vu. Ia seperti pernah melihat adegan ini sebelumnya.

"Pa," panggil Laura begitu sudah berdiri di samping papa.

Papa menoleh dan tersenyum pada Laura. Gerakan tangannya pun menyuruh Laura untuk mendekat. Laura dengan ragu mendekat. Bukan karena papa, tapi karena orang yang tadi mengobrol dengan papa itu terus memperhatikannya sambil tersenyum lebar. Senyumannya itu tidak membuat perasaan Laura menjadi baik. Sebaliknya, tengkuk Laura merinding melihat senyum itu, seperti mangsa yang tengah diincar predator. Namun, untuk menjaga sikap, Laura balas tersenyum dan memberi salam seadanya.

"Anak Pak Yuda?"

"Ah, iya. Ini Laura, anak saya satu-satunya."

Laki-laki itu mengulurkan tangannya pada Laura. "Salam kenal ya, Nak Laura. Saya Anton, teman papa kamu."

Laura melirik ke arah papa, tapi ia tidak memberikan reaksi apapun. Akhirnya, Laura pun menjabat tangan Om Anton.

"Laura, Om."

"Laura kelas berapa?"

"Kelas sepuluh."

"Wah, Om juga punya anak yang seumuran sama kamu." Om Anton tersenyum lebar, yang membuat Laura mau tidak mau balas tersenyum. "Kamu sekolah di mana?"

"SMA 26, Om."

"SMA 26 ... 26 ...." Om Anton terus bergumam, seperti mencoba untuk mengingat sesuatu. "Ah, berarti satu sekolah sama Radit, ya?"

"Iya, kita satu kelas malah," jawab Laura.

"Bagus, dong!" seru Om Anton sambil bertepuk tangan sekali. "Radit itu keponakan Om. Dia anaknya emang pintar, tapi anak Om juga nggak kalah pintarnya."

Laura hanya tersenyum sebagai jawaban, tidak mengerti ke arah mana pembicaraan ini. Memang benar dugaannya tadi, kalau Om Anton adalah salah satu dari keluarga Pramodjo. Sebenarnya Laura tidak begitu peduli. Ia hanya ingin cepat pergi dari tempat ini sebelum Om Anton kembali berbicara ke mana-mana.

"Nah, itu anak Om!"

Sebelum Laura melaksanakan niatnya untuk mengajak Papa pulang, suara Om Anton menginterupsi. Papa pun berpaling dari Laura, dan melihat ke arah mana Om Anton memanggil seseorang. Memutar bola mata, Laura dengan malas ikut menoleh, mencari tahu orang "penting" mana yang bisa membuat Papa tidak mengacuhkannya. Dan tiga detik kemudian, mata Laura kembali membulat.

Jangan bilang anak Om Anton itu ... Dylan!

"Ini anak saya. Dylan."

Bunuh aja gue sekarang! Bunuh!

Laura membayangkan dirinya sedang menggali tanah seorang diri di tengah hujan badai penuh petir bersahutan. Tanah yang basah membuatnya harus bekerja ekstra. Sampai akhirnya ia membuat lubang cukup lebar dan dalam untuk bisa ia masuki. Ia pun berbaring di atas tanah galian itu, lalu mengubur dirinya sendiri dengan tanah yang basah.

VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang