Seharian ini Laura tidak bisa fokus pada pelajaran di sekolah. Berkali-kali ia melirik jam tangannya, memeriksa setiap detik yang berganti di sana. Kakinya terus bergerak gelisah di bawah meja. Waktu terasa berjalan lambat ketika Laura menunggu.
Salah satu sudut hati Laura melarang untuk bertemu Dylan. Semalaman Laura terus membayangkan apa yang akan dikatakan Dylan nanti. Meski tahu Dylan tidak akan memilihnya, Laura tidak bisa untuk tidak mengkhawatirkan hal itu. Namun, di sisi lain, Laura juga ingin bertemu Dylan. Sepertinya bertemu Dylan sudah menjadi kebiasaan baru Laura, sehingga ia merasa ada sesuatu yang hilang ketika seminggu lebih tidak menemui Dylan.
Bel pelajaran berakhir pun berbunyi. Pak Tri mengakhiri pelajaran dengan sebuah tugas di LKS yang harus dikumpulkan besok. Setelah Pak Tri keluar, teman-teman sekelas Laura mulai heboh membereskan barang. Begitu juga dengan Laura. Sambil membereskan barang-barang, sesekali Laura melirik ponselnya yang diletakkan di atas meja.
"Dit, Lau, gue duluan ya!"
Laura terkesiap mendengar suara Mou. Cewek itu meninggalkan kelas dengan langkah lebar. Laura ingat kalau Mou ada persiapan lomba debat bahasa Inggris untuk minggu depan. Meski terlihat tenang di luar, Mou adalah orang yang mudah panik. Itulah kenapa ia buru-buru pergi ke laboratorium bahasa.
"Lo mau nonton gue latihan lagi?" tanya Radit, setelah Mou keluar dari kelas.
Karena ada jadwal pertandingan dalam waktu dekat, klub Taekwondo terus berlatih selama seminggu penuh. Seminggu kemarin Radit tiba-tiba saja meminta Laura menemaninya latihan, sehingga membuat Laura menyuruh Pak Yanto menjemputnya lebih sore. Sebenarnya Laura tidak keberatan. Menghabiskan waktu di sekolah sambil mewarnai buku doodle dan sesekali memandangi cowok-cowok keren memakai dobok (seragam Taekwondo) terlihat tidak terlalu buruk. Laura pun akhirnya menyadari jika begitu banyak cowok yang lebih ganteng dan keren daripada Dylan.
Seperti Radit dan Kak Arif misalnya.
Namun, hari ini Laura harus melewatkan kesempatan untuk melihat kibasan rambut Kak Arif yang penuh keringat.
"Gue ada janji hari ini, Dit. Sorry."
Radit menyipitkan mata, membuat Laura tanpa sadar menelan air liur. "Ketemu Dylan?"
"Lo ... tahu?"
"Cuma nebak," jawab Radit sambil mengangkat bahu. Ia pun terkekeh. "Jadi udah baikan?"
"Nggak sih—eh, gue sama dia nggak kayak gitu, ya!"
Radit mengulurkan tangan untuk mengacak rambut Laura. "Gue nggak bego tahu! Kenapa sih kalian masih suka deny?"
Bukannya mengelak, tapi memang begitu kenyataannya. Laura tidak mau besar kepala. Dirinya dan Dylan memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Baik di cerita ini maupun sebelumnya, Laura hanyalah peran antagonis yang membuat sosok Bulan semakin bersinar di mata Dylan.
"Dylan sukanya sama Bulan, Dit."
Laura berkata pelan sambil membuang pandangan ke arah lain. Ia tidak mau Radit membaca matanya. Cowok itu terlalu peka, bahkan ketika Laura tidak bercerita apa pun.
"Dylan yang bilang sendiri?"
Laura mengangguk.
Desahan keras diembuskan Radit. "Nggak ngerti lagi deh gue, Lau. Kalian itu sama-sama pintar, tapi bego dalam berbagai aspek."
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain
Teen Fiction[Laura adalah tokoh antagonis yang memiliki akhir hidup menyedihkan.] Aku tidak mau menjadi Laura yang seperti itu---itu adalah tekad yang pasti ketika aku sampai di dunia ini. Aku ingin mengubah jalan hidup Laura. Laura harusnya menjadi wanita kar...