[15] I'm A Robot

41.2K 4.6K 197
                                    

Kalau boleh memilih, Dylan ingin tinggal di rumah Radit selamanya. Namun, itu tidak akan pernah terwujud selagi papa masih hidup. Sudah menjadi rahasia besar jika papa membenci keluarga Pakde Mahesa—ayahnya Radit. Mengetahui Dylan belum juga pulang dari rumah Radit sampai jam 7 malam, papa mengirim rentetan pesan mengancam ke ponselnya. Sampai akhirnya Dylan memilih untuk menyerah—lagi.

Memasuki ruang tengah, Dylan disambut oleh Mano yang sedang menonton TV bersama mamanya. Dylan tidak mempedulikan mereka dan langsung menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Namun, niat untuk menghindari mereka harus gagal ketika Mano menyadari kehadirannya.

"Kak!"

Panggilan Mano itu membuat mamanya ikut menoleh. Perempuan 37 tahun itu bangun dari sofa dan tersenyum. Dylan tidak merespons, hanya menatap mereka berdua dengan dingin. Seperti biasa, tidak peduli bagaimana respons atau kata dingin penuh makna sarkastik yang diucapkan Dylan, perempuan itu akan tetap tersenyum.

Meski Dylan tahu, itu bukan senyum karena bahagia.

"Kamu udah makan?" tanya perempuan itu.

"Hm," jawab Dylan singkat. "Papa?"

"Di ruang kerja." Kali ini Mano yang menjawab. "Tadi papa bilang, kakak disuruh ke sana kalau udah pulang."

Tanpa ucapan terima kasih atau sekadar basa-basi, Dylan memutar langkah menuju ruang kerja Papa yang berada di sebelah kamar orang tuanya. Terdengar suara mama Mano memanggil, menyuruhnya untuk berganti pakaian terlebih dulu. Namun, Dylan tidak acuh. Tidak ada waktu untuk itu. Dylan ingin mengakhiri hari ini dengan cepat dan tidur.

Dylan mengetuk pintu ruang kerja papa.

"Masuk."

Begitu Dylan masuk, papa tengah duduk di meja kerjanya. Ruangan ini memiliki penerangan yang cukup dan dilengkapi interior minimalis. Namun, yang bisa Dylan rasakan di setiap sudutnya hanyalah aura dingin dan mengintimidasi. Di luar sana, mungkin Dylan terkenal dengan sifat dingin dan menakutkan, tapi mereka tidak tahu kalau sebenarnya Dylan hanya seorang pengecut. Ya, pengecut yang dikendalikan oleh papa otoriter.

Papa melepaskan kacamata dan mengangkat pandangnya. Tanpa sadar, Dylan menelan air liur ketika bertemu tatap dengan papa. Tangannya mulai berkeringat. Padahal papa belum berkata apapun, tapi seluruh tubuh Dylan sudah bergetar ketakutan.

"Gimana sekolah?"

"Baik."

Papa mengangguk-angguk. "Papa dengar kamu ke SMA 26? Untuk apa?"

Dylan tidak langsung menjawab. Bagaimana pun, Dylan tahu kalau papa pasti sudah punya jawabannya. Sejak kakek membahas tentang hak waris generasi ketiga, Dylan tidak bisa lagi hidup sesukanya. Semua dikendalikan papa. Pernah Dylan berontak dan yang terjadi adalah papa malah semakin keras terhadapnya. Dylan pun sudah tidak bisa merasakan bagaimana rasa sakit akibat tendangan atau sabetan gesper di betisnya, saking seringnya papa melakukan itu.

Pada akhirnya, Dylan menjadi seperti ini—menjadi robot yang dikendalikan papa. Ia tidak bisa melakukan apa yang ia inginkan. Tujuannya adalah tujuan papa. Mimpinya adalah mimpi papa. Jalan hidupnya sudah digariskan oleh papa.

"Ketemu Laura."

Satu jawaban pendek itu membuat senyum papa merekah. Ia pun bangkit dari kursi dan menghampiri Dylan. Ditepuknya bahu Dylan, seolah tengah mengungkapkan rasa bangga kepada anak sulungnya ini. Dylan sendiri hanya diam saja. Ia tidak bisa merasakan apapun dari sentuhan papa itu.

"Bagus, bagus," ujar papa. "Memang seharusnya kamu bergerak cepat."

Papa berbalik badan, berjalan kembali ke sofa yang ada di sana. "Dengan begitu, kita bisa kuatin posisi kamu sebagai pewaris Pramulia. Kamu nggak mau, 'kan kalau Radit yang pimpin perusahaan induk?"

VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang