[23] Dreamless

27.4K 3.9K 132
                                    


"Kalian satu kelompok?"

"Iya. Kelompoknya berpasangan."

"Kenapa nggak sama Radit?"

"Karena guru yang nentuin."

"Kalian masih SD, ya? Kelompok aja pake ditentuin."

Brak!

Bulan terkejut ketika Laura menggebrak meja bulat ini. Entah ini efek AC kamar Laura atau apa, tubuh Bulan secara aneh menggigil sendiri. Ia melihat Laura melempar delikan panas ke arah Dylan. Dan di satu sisi, cowok itu juga tidak mau kalah. Dylan terus menatap Laura dengan tajam meski wajahnya masih datar seperti biasa.

"Bawel banget deh lo," sahut Laura dengan ketus sambil berdecak jengkel. Ia pun menekan keyboard laptopnya keras-keras.

Dylan mendengkus dan memutar bola mata. Pada saat itulah tatapannya bertemu dengan Bulan. Diperhatikan seperti itu, Bulan pun salah tingkah. Bulan mencoba fokus pada novel di tangannya, mengabaikan aura dingin yang dilayangkan Dylan. Entah apa salahnya hari ini. Bahkan ia baru mengucapkan dua kata untuk menyapa Dylan tadi.

Setelah beberapa detik keheningan, Bulan mengangkat pandangan. Tanpa sadar ia mendesah lega ketika Dylan tidak lagi menatapnya.

"Kenapa lo nggak balas chat gue?"

Laura mengangkat bahu, tanpa mau repot-repot menatap Dylan. "Lupa. Lagi pula lo udah datang 'kan?"

"BTW." Laura berhenti mengetik dan menatap Dylan dengan dahi berkerut. "Dari mana lo tahu rumah gue?"

"Tahu aja."

Bulan tidak menyangka kalau Dylan memiliki sisi seperti ini. Ia memang belum lama mengenal Dylan. Setiap kali Bulan mencoba akrab dengan Dylan, cowok itu seolah mendorongnya jauh-jauh. Padahal Bulan hanya ingin berteman dengannya karena Dylan dekat dengan Laura. Semua ucapan, sikap, sampai tatapan mata yang Dylan berikan untuk Bulan selalu terkesan dingin.

Dylan adalah satu-satunya yang bersikap seperti itu pada Bulan. Jangankan berbicara, melirik saja terlihat sangat enggan. Bulan cukup terkejut dengan sifat di balik wajah ganteng Dylan. Bahkan dari cara duduknya pun terkesan berbeda. Mereka sama-sama duduk di lantai, berhadapan dengan sebuah meja bundar, tapi Dylan terlihat yang paling menonjol karena paras dan aura dinginnya.

"Gue mau ambil paket dulu ya, Lan."

"E-Eh?" Bulan terkesiap. Ia melihat Laura sudah berdiri di sana sambil membawa ponselnya. "O-Oh iya. Nggak apa-apa, Lau. Santai aja."

Laura pun keluar dari kamar, menyisakan Bulan dan Dylan berdua di kamar ini. Aura mengintimidasi Dylan semakin kuat. Bulan seolah tidak mempunyai pertahanan begitu Laura keluar dari kamar. Akhirnya, ia hanya bisa menunduk sambil membaca buku untuk menghindari tatapan Dylan.

"Gue mau tahu," ucap Dylan dengan suara beratnya. "Apa yang lo mau dari Laura?"

Bulan menoleh. "Apa?"

"Lo deketin Laura karena ada maunya, 'kan?" Dylan kembali melempar pertanyaan. "Dengan keadaan kalian yang berbeda, pasti ... ada sesuatu yang lo incar, 'kan?"

Bulan memang sering mendapat hinaan karena keadaan ekonomi keluarganya. Bahkan ada yang mengatakan kalau Bulan mengandalkan wajah cantiknya untuk nilai bagus dan bersekolah di tempat yang bagus. Namun, Bulan selalu mengabaikan itu semua karena tidak ada satu pun yang benar. Ia dan keluarganya sama-sama berusaha untuk hidup yang lebih baik. Hanya dengan menutup telinga, mereka pasti akan bisa melalui itu semua.

VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang