Laura belum berbicara dengan Hana lagi sejak kejadian tadi pagi. Hana pun sepertinya masih belum mau berbicara dengannya. Oleh-oleh bagian Laura yang dijanjikannya pun hanya dititipkan pada Radit. Terlebih hari ini masih belum ada kegiatan belajar-mengajar, sehingga murid-murid dipulangkan setelah jam istirahat pertama.
Hana sudah meninggalkan kelas terlebih dahulu ketika Laura mampir, yang akhirnya membuat Laura mau tidak mau harus menahan diri. Mungkin besok atau nanti malam ia berbicara dengan Hana, mengatakan kalau semua itu hanya salah paham.
Laura pun tahu, pada akhirnya ia hanya bisa mengikuti arus. Ia tidak bisa terus menghindari Dylan dan Bulan atau tenggelam dalam bayangan tentang kematiannya. Kalau kekhawatiran itu hanya akan membuat Laura kehilangan teman, lebih baik ia mati muda. Setidaknya, ia pernah memiliki teman-teman yang tulus sayang padanya.
Sambil menuruni tangga, Laura pun menelepon Pak Yanto. "Halo, Pak?"
"Iya, Non. Ada apa?"
"Pak, Laura udah pulang nih. Pak Yanto bisa jemput sekarang?"
"Tapi, Non Laura nunggu sebentar nggak apa-apa? Saya masih di jalan sama Bapak, kejebak macet."
Laura berhenti sebentar di pertengahan anak tangga. Dari tempatnya berdiri, ia melihat para anak cowok sedang bermain basket. Tiba-tiba saja Laura terpikir sesuatu.
"Oke, Laura tungguin deh, Pak," sahut Laura, lalu kembali melangkah. "Oh, iya, Pak. Bisa minta tolong tanyain Papa, aku boleh ke kantor, nggak?"
Laura bisa merasakan Pak Yanto tersenyum geli di seberang sana. Laura mendengar suara jelas Pak Yanto yang sedang bertanya pada Papa. Dehaman terdengar, sebelum Papa bergumam di seberang sana—Laura tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Meski begitu, senyum Laura tanpa sadar muncul. Hanya membayangkan ekspresi Papa sekarang sudah membuat perasaan Laura membaik.
"Kata Bapak, boleh, Non."
Laura yakin, Papa tidak secara eksplisit mengatakan itu. Papa pasti menggunakan kata-kata ambigu seperti "Terserah aja" atau mungkin hanya gumaman pendek. Namun Laura, Pak Yanto, dan Tante Ghina seperti sudah memiliki program di kepala yang membuat mereka bisa langsung paham makna kata-kata ambigu Papa itu.
"Oke, makasih, Pak Yanto. Jangan lupa sampein kiss kiss Laura buat Papa, ya!"
Kekehan Laura disambut suara tawa Pak Yanto. "Siap, Non!"
Laura sudah berada di lantai dasar. Tatapannya mengarah ke lapangan lagi. Dari sini ia bisa melihat lebih jelas bahwa yang sedang bertanding basket adalah murid kelas 11 dan 12. Radit dan Alvin ada di antara murid kelas 11 yang bermain. Mengetahui hal itu, Laura pun berjalan menuju pinggir lapangan, duduk di dekat pohon bunga Asoka oranye. Ia akan menghabiskan waktu di sini sambil mewarnai buku doodle selagi menunggu Pak Yanto.
"LAU!"
Laura, yang baru mengeluarkan kantung pensil warnanya, mengangkat kepala. Radit sedang berlari ke arahnya dengan rambut basah karena keringat. Melihat kemeja Radit yang tidak dikancingkan berkibar, dan kaus putih yang melekat di dadanya yang bidang, Laura jadi berpikir, kenapa bukan Radit yang menjadi tokoh utama. Kenapa harus cowok dingin dan menyebalkan seperti Dylan yang harus menjadi tokoh utama? Good boy terdengar tidak buruk, 'kan?
"Hai," sapa Laura begitu Radit berdiri tepat di depannya.
"Nunggu jemputan?"
"Hm."
"Gimana? Udah ngobrol sama Hana?"
Laura mengangkat bahu. "Dia udah pulang duluan. Kayaknya nanti malam gue telepon aja—kalau dia mau angkat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain
Teen Fiction[Laura adalah tokoh antagonis yang memiliki akhir hidup menyedihkan.] Aku tidak mau menjadi Laura yang seperti itu---itu adalah tekad yang pasti ketika aku sampai di dunia ini. Aku ingin mengubah jalan hidup Laura. Laura harusnya menjadi wanita kar...