01

17.4K 787 9
                                    

Perempuan yang kini sedang menatap pantulan dirinya di hadapan cermin itu bernama Laras. Adiratna Larasati. Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, Laras kini sedang bersiap sebelum berangkat ke kantornya. Untuk menyempurnakan tunik putih dan celana jins biru tuanya itu, Laras memilih hijab segiempat berwarna abu-abu muda dengan motif bunga-bunga. Setelah memastikan lipatan hijabnya sudah rapi untuk terakhir kalinya, Laras pun meraih tasnya kemudian meninggalkan kamarnya. Tak lupa paper bag coklat berisi bingkisan kecil untuk rekan-rekan kerjanya di kantor ia bawa. Hari ini adalah hari terakhir Laras bekerja di kantor yang menjadi tempatnya mencari nafkah setelah kontrak kerja tiga tahunnya berakhir. Sudah tiga tahun terakhir ini pula perempuan asal Bandung itu tinggal bersama paman dan bibinya di ibu kota.

Menuruni anak tangga, Laras langsung bisa menemukan paman, bibi, dan kedua sepupunya sudah berkumpul di meja makan. Om Arif dan istrinya, Tante Wiwit memiliki dua anak yang juga menjadi sepupu Laras, yaitu Aga dan Alya. Aga yang masih duduk di bangku perkuliahan seumuran dengan Angga, adik Laras. Sementara Alya baru saja masuk ke masa putih abu-abunya. Dan beginilah rutinitas pagi hari keluarga Om Arif dan Tante Wiwit di setiap harinya. Tante Wiwit yang merupakan ibu rumah tangga selalu menyiapkan sarapan pagi bagi seluruh penghuni rumah, tidak terkecuali Laras. Dikenal dengan masakannya yang bisa memanjakan lidah, Tante Wiwit membuka jasa catering untuk para vegetarian. Wanita paruh baya itu menjalankan usahanya dari rumah sehingga pekerjaan rumah pun masih bisa dikerjakan.

"Ayah, nanti Alya dijemput sama Ayah aja, ya?" pinta Alya, si bungsu, pada ayahnya.

Om Arif pun mengangguk. "Selesai jam lima, kan?"

"Iya, Yah," Alya membalas.

Selama hari kerja, Laras biasa berangkat kerja bersama Om Arif. Hampir setiap hari. Jarak antara kantor Laras dan kantor pamannya itu memang cukup jauh. Namun karena pamannya itu memiliki waktu senggang di pagi hari, Laras pun diantar sampai lobi kantor. Di hari-hari lainnya jika Om Arif sedang dalam perjalanan bisnis ke luar kota atau memiliki pertemuan penting di pagi hari, Laras juga biasa berangkat ke kantor menggunakan transportasi umum.

Di Jakarta, Laras tidak juga memiliki kendaraan sendiri karena memang dirasa belum terlalu dibutuhkan. Tabungan yang ia miliki dari hasil kerja kerasnya itu juga dirasa belum cukup untuk membeli kendaraan roda empat impiannya. Walaupun sejak kecil Laras diantar ayahnya kemana-mana dengan motor bebek, Laras memiliki trauma. Perempuan itu pernah mengalami kecelakaan kecil saat baru belajar mengendarai motor. Maka Laras pun belajar mengendarai mobil karena dirasa jauh lebih aman.

"Kamu beneran nanti mau pulang sendiri aja? Nggak ribet nanti bawa barang-barangnya?" tanya Om Arif mengehentikan mobilnya di lobi gedung di mana kantor Laras berada.

Laras yang sedang melepaskan sabuk pengamannya mengangguk yakin. "Iya, Om. Lagian barang Laras nggak terlalu banyak, kok."

"Ya, udah," balas Om Arif akhirnya mengalah dengan Laras yang memang memiliki sifat keras kepala.

"Laras ke dalem dulu, ya, Om. Hati-hati," ujar Laras yang kemudian meraih dan mencium punggung tangan pamannya sebelum turun dari mobil.

Memasuki lobi gedung, Laras meraih ID card dari dalam tasnya. Perempuan dengan kitten heels-nya itu melanjutkan langkah melewati pintu RFID sembari menempelkan id card-nya. Kemudian Laras menunggu di depan lift bersama pegawai lainnya. Tak perlu menunggu lama, pintu lift di hadapannya sudah berdenting. Perempuan itu kembali menempelkan ID card-nya pada RFID reader sebelum menekan tombol lantai yang ditujunya ketika sudah berada di dalam lift. Kantor di pagi hari ini belum terlalu ramai karena Laras memang datang jauh lebih awal dari jam kerjanya.

Sebelum bekerja di kantor ini, Laras sudah memiliki banyak pengalaman kerja. Perempuan itu pernah mengikuti program magang ketika semester akhir perkuliahan di sebuah advertising agency di kota kelahirannya sebagai copywriter. Untuk mendapatkan pekerjaan hanya dengan bermodalkan ijazah sarjananya tanpa pengalaman kerja sebelumnya tentu bukanlah hal yang mudah bagi Laras. Sambari menunggu panggilan kerja, perempuan yang saat itu berusia 23 tahun itu memulai karirnya sebagai waitress di sebuah café ternama di Kota Bandung. Laras bekerja sebagai waitress selama empat bulan sebelum akhirnya diterima bekerja di sebuah perusahaan kosmetik. Laras bergabung dalam tim marketing dan fokus mengerjakan brand campaign dan event-event.

To you.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang