47

2K 232 1
                                    

Bersama rekan-rekan satu timnya, Laras menikmati makan siangnya di area lounge kantor yang tentu juga diramaikan oleh penghuni lantai 17 lainnya yang juga sedang merayakan keberhasilan Loka Fest. Sebenarnya, Trimarta bisa saja mengadakan after party untuk karyawan-karyawannya atas suksesnya Loka Fest di hotel berbintang namun sesederhana makan siang bersama saja rasanya sudah sangat menyenangkan. Kerja keras selama enam bulan terakhir ini mendapat tanggapan positif dari penonton yang datang saja rasanya sudah lebih dari cukup. Untuk ukuran sebuah festival yang baru memulai perjalanannya di tahun ini, Loka Fest benar-benar jauh di atas ekspektasi. Laras sadar, kebersamaannya dengan rekan-rekan kerjanya di Trimarta tidak akan hanya berhenti dalam satu kesempatan ini namun juga di kesempatan-kesempatan berikutnya. Ini modal awal yang membuat Trimarta dan Loka Fest bisa sebesar itu.

"Widih, gercep, ya, Bu, udah upload foto lagi," ujar Yoga yang baru saja membuka aplikasi Instagram di ponselnya dan menemukan unggahan potret Laras di linimasanya.

"Mana-mana? Gue mau liat," desak Fani pada Yoga yang duduk tepat di sampingnya.

"Pake hp sendiri bisa kali," balas Yoga yang kemudian membiarkan Fani merebut ponselnya.

"Anjay, caption-nya, 'taken by: @aryanugraha'," celetuk Fani yang kemudian tersenyum menyadari sesuatu ketika menemukan komentar yang berasal dari akun milik Nadya. "Wah, gue setuju banget sama komentarnya Nadya. Jadi Ibu Adiratna Larasati udah officially taken sama Bapak Aryasatya Nugraha, ya?"

Laras yang sedang mengunyah makanannya mengernyit kemudian meraih ponselnya. "Apaan, sih? Orang fotonya emang diambil sama Arya."

Fani melirik Laras dengan kedua mata menyipit. "Tapi nggak nolak juga, kan, kalo hatinya udah taken sama Arya?"

"Terserah lo, deh," balas Laras jengah. Fani adalah Fani yang memercayai apa yang dipercaya.

Sembari melanjutkan menyantap makan siangnya, Laras membuka aplikasi Instagram di ponselnya. Unggahan foto miliknya yang menjadi bahan pembicaraan rekan-rekan satu timnya itu berupa potret dirinya saat sedang bertugas di barikade bersama Arya. Ternyata, lelaki itu diam-diam memotret dirinya saat itu. Laras kembali menarik senyum di wajahnya ketika melihat potret dirinya. Menekan kolom komentar, Laras menemukan komentar-komentar yang berasal dari akun sahabat-sahabatnya. Ada Nadya yang satu pemikiran dengan Fani barusan. Ada juga Salsa yang menagih foto bersama mereka yang waktu itu sempat diambil oleh Arya. Begitu menemukan foto yang dimaksud Salsa di ponselnya, Laras pun segera mengirimnya ke ruang obrolannya dengan keempat sahabatnya itu. Saat mengembalikan ponsel ke atas tumpukan berkas dan laptop di sampingnya, Laras menemukan lembaran proposal proyek baru yang Arya berikan pada timnya.

"Oh, iya. Gue jadi inget," ujar Laras meraih lembaran proposal itu yang kemudian ia serahkan kepada rekan-rekan satu timnya. "Ini proyek baru kita. Mau diambil atau nggak?"

Mas Pandu yang menerima lembaran proposal dari tangan Laras dan melihat logo instansi pada halaman proposal itu pun langsung bertanya, "Ini bukannya SMA lo, ya? Acaranya di Bandung, dong?"

Laras mengangguk membenarkan pertanyaan Mas Pandu yang sama persis dengan pertanyaan yang dirinya lontarkan pada Arya. Kemudian, Laras menjelaskan semua detail pekerjaan yang sempat Arya jelaskan dengannya tadi. Memiliki cakupan pekerjaan yang berbeda pada setiap proyek yang dikerjakan, Laras dan rekan-rekan satu timnya itu juga harus mudah beradaptasi dengan pola kerja yang selalu terasa baru dan berbeda. Apa yang mereka terapkan di proyek sebelumnya, belum tentu bisa diterapkan di proyek berikutnya.

"Berarti proyek ini pure kita berlima aja, nih, ngerjainnya?" tanya Hanif yang masih mencoba memahami isi proposal.

Laras mengangguk. "Nggak ada tim lain yang lagi kosong. Lagian, cakupan kerjaan kita di proyek ini nggak terlalu berat juga. Gimana?"

To you.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang