13

3.3K 401 3
                                    

Keesokan paginya, Laras memasuki lobi gedung kantor dengan pikiran kosong. Kedua kakinya langsung melangkah menuju coffee shop yang terletak di sudut lobi. Laras memang selalu membawa ice cappuccino di tangannya setiap pagi ke meja kerjanya. Membuka pintu kaca coffee shop, Laras melangkah menuju meja kasir untuk memesan minumannya. Sesampainya di di sana, Laras malah terdiam menatap kosong papan menu yang tergantung di balik meja kasir. Hari ini, Laras benar-benar merasa seperti kehilangan arah. Mengungkapkan perasaannya pada Arya semalam, membuat sistem kerja otaknya mendadak kacau pagi ini. Ia merasa dirinya menjadi bergerak lebih lambat dari rutinitas sehari-harinya yang sebenarnya sudah dijalaninya berulang tanpa sadar.

"Lo ice cappuccino, kan?"

Mendengar suara dari balik punggungnya, Laras langsung memutar tubuhnya menoleh pada seseorang yang berdiri di belakangnya itu. Tertanya seseorang dengan suara yang begitu familiar di telinganya itu adalah Arya. Lelaki dengan tas ransel di pundaknya itu kemudian langsung pindah berdiri di samping Laras, mengambil alih untuk memesan kopi kepada penjaga kasir.

"Ice cappuccino satu sama ice americano satu, Mbak," ujar Arya pada penjaga kasir di hadapan mereka. Lelaki itu juga langsung mengeluarkan kartu debit dari dalam dompetnya.

Setelah selesai memesan, Laras hanya mengikuti Arya yang berpindah menuju tempat untuk mengambil pesanan mereka nanti. Dalam benaknya, Laras mulai bertanya-tanya mengenai dari mana lelaki itu bisa mengetahui varian minuman yang selalu ia pesan untuk menemani paginya itu. Bahkan Fani yang duduk tepat di sampingnya masih sering bertanya mengenai minuman di dalam cup kopi yang selalu ia bawa setiap pagi.

"Lo masih suka ice cappuccino, kan?" tanya Arya yang masih berdiri di samping Laras.

Laras yang melipat kedua tangannya di depan dada sontak menolehkan kepalanya pada Arya, "Perasaan gue nggak pernah kasih tau lo."

"Silahkan, ice cappuccino sama ice americano-nya," seorang pelayan wanita yang tadi melayani Laras dan Arya di kasir pun menyerahkan minuman pesanan mereka di atas meja bar.

"Makasih, Mbak," ucap Laras dan Arya bersamaan.

Mengambil gelas plastik berisi minuman pesanan masing-masing, Laras dan Arya pun kemudian berjalan beriringan keluar dari coffee shop menuju lift. Keduanya kemudian beridiri bersebelahan di depan pintu lift bersama karyawan kantor lainnya yang juga menunggu lift sampai di lobi. Bertemu sepagi ini dengan Arya tentu membuat Laras sedikit canggung karena tidak tahu harus bersikap bagaimana di situasi yang sama sekali tidak dirinya duga itu. Perempuan itu seakan kehilangan kemampuannya untuk mengendalikan dirinya.

"Lo emang nggak pernah kasih tau gue secara langsung, Ras. Lo cenderung menjalani rutinitas berulang tentang apa yang lo suka dan gue cuma pernah tanya ke lo satu kali minuman yang lo pesen. Remember?" tanya Arya yang kemudian langsung masuk ke dalam lift yang pintunya sudah terbuka.

Ingatan Laras langsung mengarah pada saat di mana Arya menanyakan minuman yang dirinya pesan. Sudah berlalu kurang lebih delapan tahun sejak terakhir dirinya dan Arya duduk di ruangan yang sama untuk bertemu kembali dengan teman-teman satu kelas mereka di SMP. Yang membuat Laras sedikit bingung adalah ternyata Arya juga mengingat momen sepersekian detik yang sudah berlalu bertahun-tahun lamanya itu. Perempuan dengan outer denim yang terdiam sibuk dalam pikirannya sendiri itu kembali tersadar ketika suara dentingan lift yang sampai di lantai 17 terdengar. Lelaki yang tampak tenang di sampingnya itu melangkah keluar dari lift terlebih dahulu dibanding dirinya.

"Ar," panggil Laras pada Arya ketika berhasil menyusul lelaki itu keluar dari lift.

Arya menghentikan langkahnya kemudian memutar tubuh menghadap Laras yang masih berdiri di depan pintu lift. Kedua alis lelaki itu terangkat menandakan tanya.

To you.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang