11

3.3K 390 3
                                    

Keesokan paginya, Laras dibangunkan oleh suara panggilan telepon yang rupanya berasal dari Nadya. Perempuan yang belum sepenuhnya sadar itu mencoba mendengarkan sahabatnya yang mengajak dirinya pergi berbelanja ke mal itu. Dengan tenaga seadanya, perempuan yang masih lengkap dengan piyamanya itu bangkit dari tempat tidurnya karena Nadya ternyata sudah tiba di rumah Mutia dan akan segera pergi menuju rumahnya. Laras benar-benar tidak habis pikir dengan Nadya yang sepertinya tidak kehabisan tenaga setelah kemarin seharian berkegiatan di luar rumah. Setelah rangkaian acara pernikahan Rika, mereka tidak langsung pulang, mereka masih lanjut pergi makan malam di sebuah restoran terdekat.

Laras memilih kemeja broken white dengan celana berwarna senada dan cardigan pink untuk melengkapi penampilannya hari ini. Semalas apapun, Laras memang cukup memperhatikan penampilannya agar tetap tampak layak dan rapi. Padahal, saat zaman sekolah, Laras bukanlah seseorang yang telalu memperhatikan penampilan. Laras yang dulu lebih menyibukkan diri di bidang akademis dan juga mengembangkan kemampuan diri melalui banyak kegiatan organisasi. Saat itu ia seakan tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan penampilan karena baginya yang terpenting adalah kemampuannya-lah yang membuat dirinya disegani. Namun, saat masuk ke dunia kerja, penampilan juga menjadi salah satu poin terpenting. Sejak saat itulah, Laras mulai memperhatikan penampilannya. Bagi teman-temannya yang mengenal Laras sejak zaman sekolah, Laras adalah sosok yang paling terlihat nyata dalam melakukan perubahannya.

"Mbak mau ke mana lagi?" tanya Angga yang sedang bermalas-malasan di sofa ruang tengah ketika menemukan sang kakak sudah siap akan pergi.

Tak menjawab pertanyaan sang adik, Laras langsung berpamitan dengan kedua orang tuanya yang juga sedang bersantai di sofa, "Ma, Pa, Laras mau pergi sama Nadya sama Mutia, ya."

"Loh, nggak jadi pulang ke Jakarta nanti malem sama temen kamu itu? Siapa namanya?" tanya Indra pada Laras ketika putrinya itu mencium punggung tangannya.

"Jadi, kok, Pa. Bareng Arya, Farel, sama Revan lagi," balas Laras. Kemarin, di acara resepsi pernikahan Rika dan Yudha, Arya sempat mengajaknya untuk pulang ke Jakarta bersama. Farel dan Revan juga ikut kembali ke Jakarta bersama Arya.

"Loh, temen-temen Mbak itu cowok semua? Yang kemaren nganter Mbak itu juga?" tanya Angga bangkit dari posisi tidurnya, menatap sang kakak dengan tatapan terkejut.

Laras mengangguk, "Iya. Emang kenapa?"

Laras paham jika adiknya itu tampak khawatir karena dirinya menjadi satu-satunya perempuan di dalam mobil. Namun, hal itu tidak terjadi pada sang ayah yang tampak tenang-tenang saja. Laras juga masih bertanya-tanya mengenai yang satu itu. Dua hari yang lalu, saat sampai di rumah, sang ayah tampak biasa saja, bahkan menyambut Arya yang berada di sampingnya. Malam itu, Arya memang ikut turun dari mobil dengan dirinya karena lelaki itu ingin menyapa kedua orang tuanya, sementara Farel dan Revan memilih tetap tinggal di dalam mobil. Hampir 16 tahun mengenal Arya, lelaki itu memang dikenal sangat sopan.

"Mbak, serius aja-" kalimat Angga terpotong oleh suara klakson dari halama rumah.

"Laras, pergi dulu," pamit Laras menuju rak sepatu untuk mengambil sepatunya sebelum meninggalkan rumah. Sudah dipastikan Nadya sudah sampai di depan.

Jarang sekali Laras temui sahabatnya yang satu itu menyetir mobil sendiri. Bahkan, selama mengenal Nadya, Laras menemui perempuan itu membawa mobil sendiri hampir bisa dihitung jari. Di antara keempat sahabatnya, Rika-lah yang selalu membawa mobil sendiri dan paling sering memberikan tumpangan kepada yang lainnya. Lagi-lagi, Nadya adalah yang paling malas membawa kendaraan sendiri. Ibu manajer satu itu padahal bisa setiap hari pergi ke kantor dengan mobil pribadinya, namun, Nadya lebih memilih pergi kemana-mana menggunakan taksi atau ojek online.

To you.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang