41

2K 226 2
                                    

Sampai di rumah sakit, Laras dan Arya langsung bertemu dengan Rita, istri Daffa, yang sedang hamil besar. Perempuan mungil yang tampak sedang mencoba tegar itu menjelaskan kondisi Daffa yang mengalami patah tulang di bagian lengan serta beberapa luka ringan di bagian tubuh lainnya setelah kecelakaan naas itu terjadi. Bekerja secara langsung ke lapangan di sebuah konstruksi pembangunan, tentu resiko keselamatan juga tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi. Asuransi kecelakaan kerja sudah diklaim dan sekarang sedang diproses.

"Maaf, banget, saya jadi ngerepotin sampe dateng ke sini. Saya panik padahal semua baik-baik aja," ujar Rita setelah mendengar penjelasan dokter yang baru saja keluar dari kamar rawat inap Daffa bahwa lelaki itu akan segera sadar.

Laras meraih kedua tangan Rita yang kini duduk di sampingnya itu. "Nggak apa-apa. Kami juga jadi lega kalau ternyata kondisi Daffa baik-baik aja."

"Makasih banyak, ya, Mas Arya sama Mbak-" ucap Rita yang kemudian tampak menanyakan nama Laras.

"Saya Laras," balas Laras dengan senyum.

Kemudian Laras membawa Rita duduk di sebuah kursi panjang yang tersedia di luar kamar inap Daffa. Untuk mencairkan suasana, Laras pun bertanya, "Rita hamil berapa bulan?"

"Enam bulan, Mbak," balas Rita.

"Laki-laki atau perempuan?" tanya Laras lagi.

"Insyaallah, laki-laki, Mbak," balas Rita mengelus perutnya lembut.

"Semoga jadi laki-laki yang kuat kayak ayahnya, ya," ucap Laras menatap perut Rita yang besar itu.

Sedikit Laras ketahui, Daffa yang tampak ceria itu ternyata banyak menyimpan lukanya sendirian. Lelaki yang tampak sangat menikmati hidupnya itu tumbuh besar di keluarga yang berantakan. Lelucon yang Daffa sering lontarkan semasa sekolah hanyalah topeng untuk menutupi kehidupannya yang kacau di rumah.

"Loh, Mbak Laras kenal juga sama Mas Daffa?" tanya Rita.

Laras tersenyum kemudian mengangguk pelan, "Iya, saya juga temen satu SMP-nya Daffa."

"Wah, bisa kebetulan Mbak Laras lagi bareng sama Mas Arya," ujar Rita.

Laras melirik sekilas pada Arya yang berdiri bersandar pada tembok di seberangnya. "Saya sama Arya satu kantor."

Arya tersenyum kecil ketika melihat interaksi di antara Laras dan Rita. Laras seakan tahu bagaimana mengatasi situasi seperti ini dengan baik. Obrolan kecil yang Laras bangun mampu membuat Rita yang sebelumnya tampak kalang kabut menjadi lebih tenang. Arya akui jika Laras mahir dalam memberikan rasa tenang kepada orang-orang di sekitarnya. Laras memang tampak abai dengan sekitarnya. Nemun sebenarnya, perempuan itu sangatlah peduli. Semua itu bergantung dengan sejauh apa mengenal Laras. Semakin dekat dengan Laras melalui obrolan-obrolan ringan yang berujung membuat otakanya berpikir keras, Arya perlahan mulai merasakan kepedulian perempuan itu.

Malam itu, terasa sangat panjang bagi Laras dan Arya. Daffa yang lengannya dibalut penuh dengan perban sadar beberapa jam kemudian. Bertemu lagi dengan Daffa setelah bertahun-tahun lamanya, Laras tak menemukan sisi ceria yang selalu lelaki itu tunjukkan setiap harinya di masa sekolah. Daffa yang ia kembali temui kini terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Bertukar sapa dengan Daffa sebentar, Laras dan Arya kemudian berpamitan untuk pulang karena sudah larut. Mereka berjanji akan kembali mengunjungi rumah sakit esok hari usai jam kerja.

Di perjalanan Arya mengantar Laras pulang, Arya menceritakan sedikit kisah hidup Daffa setelah mereka berpisah di bangku SMA pada Laras. Daffa adalah anak tunggal di keluarganya. Sejak SMP, pertengkaran kedua orang tuanya sudah menjadi makanan setiap hari yang harus Daffa telan mentah-mentah. Ketika Daffa beranjak ke bangku SMA, kedua orang tuanya resmi berpisah dan Daffa tidak tinggal dengan keduanya. Walaupun sang ayah masih membiayai hidupnya hingga lulus sarjana, Daffa memilih tinggal sendirian di sebuah kamar indekos kecil. Ayah dan ibunya sudah memiliki keluarga masing-masing yang tentunya tidak mengharapkan keberadaan dirinya.

To you.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang