42

2K 232 0
                                    

Sebelum pergi menuju ke rumah sakit, Laras dan Arya mampir sejenak ke toko roti dekat kantor mereka untuk membeli buah tangan untuk Daffa dan sang istri. Kemudian, Laras dan Arya akan menemui perempuan itu di lobi rumah sakit sebelum mereka pergi ke kamar rawat inap Daffa bersama. Kembali menjenguk Daffa yang masih dirawat di rumah sakit, rasanya mereka seperti kembali ke masa-masa sekolah. Keberadaan Yura yang sepertinya tidak lelah mengangkat cerita-cerita konyol mereka semasa SD dan SMP menjadi alasannya. Walaupun masa SMP Laras tidak meninggalkan kenangan yang begitu baik, Laras menemukan kelegaan ketika mendengar cerita dari sudut pandang lainnya. Ternyata tidak seburuk itu.

Daffa yang dijenguk tiga orang temannya pun seakan mendapatkan keceriaannya kembali. Dengan lengan terbalut gips, lelaki itu turut melontarkan lelucon-lelucon kecil yang membuat seisi ruangan terbahak. Daffa memang sudah terbiasa hidup dengan senyum lebar di wajahnya untuk menutupi segala lukanya. Laras sangat salut dengan bagaimana cara lelaki itu bertahan sendirian sebelum akhirnya bertemu dengan Rita.

"Kamu weekend ini kosong, kan?" tanya Arya pada Laras ketika mereka dalam perjalanan pulang dari rumah sakit.

Laras yang matanya masih terfokus pada layar ponselnya itu mengangguk pelan. "Kenapa?"

"Ikut dateng ke acara lamaran Mas Dwi sama Mbak Indah, yuk, Ras, weekend ini," ajak Arya kemudian.

Laras sontak menoleh pada lelaki di sampingnya itu. "Ke Bandung? Kenapa kamu baru bilang?"

"Tenang, Ras. Kita nggak ke Bandung, kok. Mbak Indah tinggal di Bintaro sama orang tuanya. Jadi, kita hari Sabtu ke Bintaro. Nggak jauh, kan?" tanya Arya tersenyum kecil ketika mendapati wajah panik Laras.

Laras melirik Arya malas. "Tetep aja, Ar. Aku nggak ada baju yang propper buat dateng ke acara semacam itu di Jakarta. Semua kebaya aku ada di Bandung."

"Kamu bisa pake baju yang biasa kamu pake ke kantor, kok. Acaranya juga nggak seformal itu," balas Arya.

"Kamu nanti bakal pake baju apa?" tanya Laras tampak mencari sesuatu di layar ponselnya, mengabaikan kalimat Arya sebelumnya.

"Baju apaan?" tanya Arya sembari memutar setirnya, melajukan mobilnya memasuki komplek perumahan.

"Ya, buat acara lamaran Mas Dwi. Kamu bakal pake baju apa?" tanya Laras lagi.

"Belom tau, lah. Lagian masih tiga hari lagi," balas Arya cuek.

"Nggak ada seragaman sama keluarga kamu?" tanya Laras.

Arya yang baru saja menghentikan mobilnya di depan rumah Om Arif pun menggeleng. "Nggak. Emang buat apa, sih?"

"Aku mau minta Mama kirimin kebaya aku ke sini, mumpung masih tiga hari lagi. Sehari juga paket sampe, kan, dari Bandung ke Jakarta. Nah, aku juga perlu tau kamu mau baju apa biar aku nggak salah kostum," jelas Laras kemudian.

Arya tersenyum mencoba menahan tawanya. Laras dengan segala rencana yang sudah disusunnya itu selalu berhasil membuatnya takjub. Perempuan itu benar-benar menggemaskan jika sedang serius membicarakan tentang mereka.

Laras kembali menoleh menatap Arya yang masih belum memberikan jawabannya. "Ayo putusin kamu mau pake baju apa."

Arya kemudian mencoba mengingat kira-kira kemeja apa saja yang ada di lemarinya, "Kayaknya pake batik warna coklat aja, deh."

"Oke," balas Laras yang kemudian langsung mengetikkan pesan singkat kepada sang ibu.

Tiga hari berlalu, tibalah hari di mana Mas Dwi dan Mbak Indah melaksanakan lamarannya. Suara klakson mobil terdengar dari pekarangan rumah saat Laras sedang merapikan hijabnya. Memastikan sekali lagi bahwa penampilannya sudah paripurna, Laras pun meraih tas putih miliknya dan segera keluar dari kamar. Tante Wiwit sudah berseru memanggilnya bahwa Arya sudah sampai dari lantai satu. Dengan heels 5cm berwarna beige, Laras menuruni anak tangga menuju lantai satu dengan langkah terburu. Beruntung, Laras memilih untuk tidak mengenakan kain dan mengenakan kulot berwarna putih.

To you.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang