sq] xi. can't stop

441 86 15
                                    

Jeno memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah sakit di daerah pulau. Mereka menempuh perjalanan sekitar dua jam dari Seoul.

Setelah mesin dimatikan oleh Jeno, Siyeon langsung membuka pintu mobil dan keluar dari mobil. Begitu juga dengan Jeno, ia cepat berlari keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah sakit.

“Pasien atas nama Lee Jaejoon ada di ruang mana, ya?” tanya Siyeon kepada perawat di sana.

“Di kamar 1502,” jawab perawatnya.

Jeno masih kebingungan mencari kamarnya.

“Jeno, sini!” Siyeon menarik tangan Jeno untuk mengikutinya ke arah kanan.

Sampai di depan pintu kamar 1502 Jeno membuka pintu itu dan mendapati tantenya (bibinya) sedang berbicara dengan ayahnya Jeno.

“Papa?” suara Jeno mengalihkan pandangan mereka.

Jeno meneguk air ludahnya dengan susah payah kala melihat ayah tidak ia temui selama lima belas (15) tahun lamanya. Ia menahan dengan kuat air matanya agar tidak jatuh.

“Jeno! Kebetulan kamu datang!”

Jeno mengangkat sudut bibirnya ke atas, hendak mendekati ayahnya.

“Papa harus keluar dari sini, kamu bayar uang rumah sakitnya ya? Setelah ini papa mau ngurus pekerjaan.”

Jeno mengangguk. “Iya, Jeno yang bayar. Tapi, papa istirahat aja ya dulu?”

“Ada urusan bisnis, papa harus diskusikan lagi sambil minum sama teman papa, ini cuma sebentar doang, papa gak sengaja aja jatuh di bar.”

Senyum Jeno memudar begitu saja.

“Papa?” Jeno menatap ayahnya tidak menyangka. Hati yang senang tadi terpatahkan.

Siyeon masih diam menatap Jeno yang sedikit bergetar. Ia melihat ada kesedihan di mata Jeno.

“Papa masih banyak urusan, kamu bayar aja,” kata Jaejoon.

Saat itu juga, Jeno tidak bisa membohongi perasaannya kalau ia kecewa. Setelah orangtuanya meninggalkan Jeno, ia cukup merasa kehilangan. Belakangan ini, beberapa bulan lalu bibinya menghubunginya dan mengatakan kalau ayahnya mencari Jeno.

Hal yang dirasakan Jeno adalah canggung, ia tidak tahu pasti lagi campuran rasa apa yang ia rasakan, ia marah dan kesal karena ditinggalkan oleh ayah dan ibunya selama 15 tahun. Tetapi, semuanya musnah begitu saja karena Jeno dapat merasakan bertemu dengan ayahnya.

Tetapi sayangnya lagi, Jeno tidak bisa merasa bahagia. Sempat berpikir untuk merasa bahagia, itu semua tidak terjadi dalam jangka waktu lama. Hanya dalam hitungan jam, bahagia saat ia melajukan mobil, dan di detik saat ia masuk ke ruangan rawat orangtuanya.

Detik setelah mendengar kata pertama ayahnya, semuanya memudar. Sampai saat kalimat terakhir tadi, Jeno masih sabar.

“Kamu gak denger? Papa mau kerja, tapi mereka gak bolehin keluar karena tante kamu bilang akan ada yang bayar. Jadi kamu bayar aja setelah itu boleh pergi.”

Jeno terdiam.

“Jaejoon,” peringat bibinya Jeno.

“Setelah 15 tahun lamanya, itu yang Papa mau dari Jeno?” tanya Jeno.

Siyeon masih menatap Jeno.

Jeno langsung keluar dari ruangan itu dan berjalan keluar rumah sakit. Ia sejenak bersyukur karena sedang malam hari, tidak akan ada yang melihatnya apabila air matanya tidak dapat ditahan.

Meskipun dari jauh Siyeon mengikuti Jeno, Jeno tidak sadar dan masih dalam pikiran yang tidak bisa ia deskripsikan.

Sementara Siyeon hanya mengikuti dari jauh, berjalan sesuai dengan langkah kaki Jeno, dan mengamati Jeno dari belakang. Ia tidak mau Jeno merasa kecewa dengan dirinya sendiri, jadi ia biarkan Jeno untuk tidak berbicara sepatah katapun.

Di tengah perjalanan mengikuti Jeno, ponsel Siyeon bergetar. Ia mengangkat telepon masuk dari Bibinya Jeno.

Siyeon kamu bisa tolong jagain Jeno?”

Mata Siyeon masih menatap Jeno, ia bingung dengan apa yang terjadi dengan Jeno belakangan ini? Mengapa Jeno sebelum putus selalu menatapnya dengan tatapan tidak mampu, mengapa ia merasa Jeno sangat jauh dan pertanyaan lain bermunculan.

“Jeno... Ada apa, Tan?” tanya Siyeon via telepon, kakinya tidak berhenti melangkah, mengikuti sejauh mana Jeno melangkah.

Sekitar satu bulanan ini, Tante selalu minta Jeno untuk kunjungi papanya. Awalnya Jeno kaget karena dia kira dia gak punya ayah, tapi Jeno sempat datang ke sini.”

“Satu bulan?”

Tante udah jaga papanya Jeno sejak beberapa bulan yang lalu, papanya Jeno merasa bersalah udah ninggalin Jeno, tapi sebulan belakangan kondisi papanya Jeno menurun drastis, jadi mengatakan hal berulang, setiap bangun, memorinya selalu ada di waktu dia bangkrut. Kadang selalu lupa identitas diri.”

“Maksudnya gimana, Tan? Gak mungkin... De..” Siyeon menutup mulutnya tidak percaya, meskipun dia bukan anak kedokteran, tetapi Siyeon tahu ciri-ciri itu.

Iya, kamu bener. Tante sebulanan ini udah neror Jeno sampe dia mau datang ke sini. Kamu temanin Jeno ya? Sampe Jeno mau terima kondisi papanya...”

Siyeon menelan salivanya susah payah. “Iya, Tante.”

Sebelum Jeno berjarak lebih jauh lagi darinya, Siyeon segera menengok. Ia melihat Jeno benar-benar berjalan lurus tanpa melirik kanan dan kiri. Bahkan di tempat parkiran yang jauh, nyaris kembali ke jalanan ramai, Jeno masih tidak berkutik.

Siyeon berlari dengan kencang dan memeluk Jeno dari belakang sebelum Jeno tidak bisa mengendalikan dirinya. “Stop. Jangan jalan lagi, Jeno.”

Jeno tidak bersuara, tetapi Siyeon bisa merasakan kalau tubuh Jeno bergetar. Hatinya berdesir melihat Jeno. Ia merasa bersalah karena menambah masalah Jeno kemarin dengan lengah terhadap Chani dan justru membuat Jeno semakin kepikiran.

“Udah dong, Jeno. Aku tau kamu kecewa, tapi jangan main jalan gitu aja, kalo kamu ketabrak siapa yang rugi?” tanya Siyeon.

Sementara Jeno tidak bisa menjawab apa-apa. Ia dibawa Siyeon duduk di trotoar samping kantor security. Siyeon memeluk hangat Jeno, membuat Jeno benar-benar bisa mempercayakan hatinya untuk mengeluarkan semua kekecewaannya.

“Maaf,” kata Jeno.

Siyeon mengernyit. “Untuk apa?”

“Maaf karena gak bisa berhenti bergantung sama kamu.

-to be continued...

setelah sekian lamanya tidak update...
perlahan semua tugas dari pembelajaran daring ini sungguh tidak terhitung banyaknya:((

buat yang lagi nugas daring semangat ya, terima kasih banyak sudah berkunjung!

oh iya akan double update!

[✓] OrdinaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang