xvii. hospital

926 154 19
                                    

Tidak ada suara bising yang terdengar di meja operasi, hanya suara mesin anestesi yang terdengar di dalam Operatie Kamer yang kerap disuarakan sebagai kamar operasi, tempat para dokter spesialis, dan para asistennya berusaha menyelamatkan pasien yang mempercayakan tubuh mereka untuk diperbaiki dengan bantuan alat bedah, kesetiaan para asisten dokter, kefokusan para dokter, doa dari pihak pasien dan mujizat Tuhan.

“Pisau bedah,” suara pria berusia 32 tahun menggema di kamar operasi. Setelah mengambil benda kecil dan pipih bernama pisau bedah itu, pria yang berperan sebagai dokter itu memulai perbaikan di tubuh cowok berusia 20 tahun.

Beberapa rekan tim yang ada di kamar operasi terus berusaha. Terkhusus pria yang menangani tubuh bagian belakang ini. Ia tidak punya waktu untuk sekedar salah tangkap, salah membedah, salah menyentuh bagian rawan di bagian belakang.

Luka tembak yang ada di bagian tulang punggung Jeno bukanlah perkara yang mudah. Hanya satu saja kesalahan yang terjadi di meja operasi, akan berakibat fatal pada pasien yang sudah dipercayakan.

Gerakan sedikit saja sangat berarti.  Setelah mengambil barang yang tidak seharusnya ada di tubuh Jeno, mereka menunggu mesin anestesi.

piip... piip... piip...

Mesin anestesi menyala, menampilkan sekaligus menghasilkan suara yang stabil, menandai hemodinamik tubuh Jeno normal. Aliran darah baik dari sirkulasi magna maupun sirkulasi parva, masih stabil dan belum menandai penurunan.

Sedangkan Mark, Renjun, Jaemin, Haechan, Chenle, Jisung dan tidak lupa dengan cewek yang masih bergetar takut, mereka menunggu Jeno di kamar operasi selama tiga jam lamanya.

“Kenapa belum keluar, ya?” Jisung mengigit jarinya.

“Dipikir operasi gampang?” Chenle memukul tangan Jisung. “Kotor jari lo, gak sehat. Jorok banget, sih.”

Jisung hendak melayangkan pukulan kecil kepada Chenle kalau saja Jaemin tidak menahannya. Cowok bermarga Na itu menoleh tajam kepada Jisung dan Chenle, mengisyaratkan mereka untuk tetap diam.

Tidak jauh dari posisi Jisung, ada kakak perempuannya yang sedang dilanda kecemasan besar. Tidak hanya Siyeon, mereka juga. Tetapi, rasanya sangat tidak adil bagi Siyeon kalau hanya Jeno yang terluka.

Cewek berparas cantik, dan hanya satu-satunya cewek di antara mereka, masih menunggu dengan gelisah. Siyeon memegang pelipisnya dengan tangan kiri, dan menutup wajahnya menggunakan tangan kiri dan kanan---yang masih ada bekas darah Jeno.

“Siyeon, lo cuci tangan dulu, gih,” suruh Renjun.

Siyeon hanya menoleh kemudian menunduk lagi, tidak menjawab. Cewek itu sangat cemas dengan Jeno, ia sampai tidak bisa dan tidak ingin pergi kemana-mana kalau belum ada kabar dari dalam kamar operasi yang sudah beroperasi selama tiga jam lebih.

“Njun, kalo Jeno...” Siyeon bahkan tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia menunduk lagi setelah tidak menyelesaikan kalimatnya pada Renjun.

Cowok bermarga Huang itu mengusap punggung Siyeon. “Jeno bakal baik-baik aja.”

Tidak ada jawaban lagi dari Siyeon. Cewek itu mengeluarkan air matanya tanpa isakan. Entah kenapa, ia tidak merasa sedih saat ini, tetapi, air matanya terus saja keluar tanpa ingin berhenti sejenak sana.

“Udah dong, Kak, jangan nangis.” Jisung berjongkok di depan Siyeon.

Siyeon menatap. “Gue gak nangis, udah ah.”

“Apanya coba yang gak nangis? Kalo kakak nangis di sini, gak ada semangatnya...” kata Jisung lagi.

“Gue gak nangis, Jisung. Tapi, gue gak tahu kenapa air mata gue keluar terus. Sungguh gue gak lagi pengen nangis—” Siyeon menunduk, hatinya terasa sesak sekali. “Gue takut Jeno kenapa-napa—”

[✓] OrdinaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang