xiii. road to evaluation 2

905 170 15
                                    

“Kunci pintunya. Pastiin pengawal jaga di depan.”

Tidak lama setelah Jeno berkata demikian, beberapa pengawal Chenle memperketat pintu gudang Chenle yang jauh dari rumahnya, gudang introgasi adalah sebutannya.

“Gue tau lo suruhannya Kevin,” Mark menggebrak meja introgasi.

Cowok di depannya tampak tidak takut. Ia tetap menegakkan kepalanya, berusaha untuk tidak berkedip takut akan kecaman dari DR92B yang sudah berkumpul dalam satu ruangan ini, terkecuali Jisung yang diamankan oleh Chenle. Mereka sedang bermain di timezone yang letaknya ada di belakang rumah Chenle.

“Gak usah sok nantang gitu muka lo, gue gak niat buat lo takut. Gak guna.” Jeno mendecih, ia duduk di hadapan cowok di depannya.

Sedangkan cowok itu mungkin sekarang sudah takut karena bisa dilihat dengan mata telanjang, pelipis cowok itu basah karena air keringat yang bercucuran.

“Kita gak bunuh orang. Jadi, lebih baik lo jujur aja sekarang.” Mark duduk di atas meja, memperhatikan cowok itu dengan tatapan serius.

Cowok itu tetap tidak ingin bicara.

“Gue tau nama lo,” kata Jeno lagi, menimpali.

Di samping Jeno ada Renjun. Cowok bermarga Huang itu membuka lembaran kertas yang disatukan di papan. “Hakmin.”

Cowok di hadapan Jeno itu mendongak, mengangkat kepalanya terkejut saat mendengar Renjun menyebutkan namanya. Hal ini membuatnya menjadi tambah takut.

“Gak susah buat cari nama lo, alamat lo dan siapapun yang komunikasi dengan lo. Termasuk Kevin.”

Jeno menghela napasnya kasar, melihat Hakmin tidak mau berbicara. Masih enggan berbicara sejak lima belas menit yang lalu mereka sudah masuk ke dalam ruangan di dalam gudang ini.

“Kita gak bakal apa-apain lo kalo lo kasi tau keberadaan Kevin dan, siapa yang kerjasama, tangan dan kakinya Kevin.”

Hakmin mengangkat kepalanya setelah sudah menunduk sebelumnya. “Kalo gue gak kasih tahu? Lo bakal apa-apain gue?”

“Enggak.” Jawab Jaemin.

“Terus, buat apa lo nyekap gue kalo gini?” tanyanya lagi.

Mark berdeham. “Gue kira lo orangnya bisa diajak kompromi.”

“Gue gak mau kompromi.”

Haechan mendekati Hakmin. “Kita tahu lo dapat bayaran dari Kevin. Tapi, sebaiknya lo gak kerja kayak gini.”

“Gue gak perduli, Kevin yang bantuin gue untuk cari nafkah buat keluarga gue. Lo semua punya keluarga kan? Gak mau kan mereka hidup terlantar?” Hakmin menyolot.

Haechan melotot. “Lo pikir segampang itu prinsipnya?”

“Chan,” peringat Mark, ia menahan Haechan yang ikut tersulut emosi.

“Lo gak mikir? Gimana keluarganya Jisung kalo lo semua bawa dia?” tanya Haechan sewot.

Hakmin menggeleng. “Lo juga bawa gue.”

“Jam sebelas, lo gue bebasin. Gak usah takut. Gue cuma mau peringatin lo. Jangan ikut campur tangan untuk nangkap Jisung, karena kalo itu terjadi, lo bakal nyesel lihat tangis Ibu lo dan adik lo.”

Jeno berdiri lebih dulu setelah Jaemin menyelesaikan kalimatnya yang lumayan. Cowok itu melirik jam dinding di dalam ruangan itu.

“Udah jam tujuh, gue duluan ke kampus.”

Tidak menunggu Hakmin yang tidak mau bicara, Jeno lebih dulu keluar dari ruangan introgasi itu untuk mengikuti mata kuliahnya yang akan dimulai pada jam delapan pagi.

[✓] OrdinaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang