xii. the truth

919 192 42
                                    

Jeno membukakan pintu mobil untuk Siyeon. Tanpa banyak bicara, Siyeon menurut saja masuk ke dalam mobilnya Jeno, sekarang ia benar-benar tidak berani bicara dengan Jeno karena takut Jeno akan melampiaskan kemarahannya.

“Pake sabuk pengamannya.”

Siyeon menoleh gugup. “H-Hah? Oh? Oke.”

“Sori ya,” kata Jeno.

Jeno menatap Siyeon, memastikan cewek itu sudah memasang sabuk pengamannya. Hanya beberapa detik sunyi, setelah itu Jeno menyalakan mesin mobilnya dan melaju dengan kecepatan sedang untuk mengantar Siyeon pulang.

Selama perjalanan sekitar lima menit, mereka masih sunyi tidak ada yang bersuara atau mengobrol, bahkan radio mobil Jeno pun tidak ia nyalakan. Walau canggung, tidak meminta radionya dinyalakan karena ia masih ingat betul kalau Jeno tidak suka mendengarkan radio di dalam mobil.

tring.

Bunyi notifikasi dari ponselnya Siyeon cukup membuat pandangan keduanya teralihkan dari kesibukan mereka masing-masing. Siyeon membaca pesan masuk yang muncul di ponselnya.

“Kenapa?” tanya Jeno.

Terkutuklah mulutnya yang masih bertanya. Ia lupa kalau dia pun bukan siapa-siapa Siyeon lagi. Hanya menjadi kebiasaannya saja menanyakan hal-hal yang biasa ia tanyakan selama berpacaran.

Siyeon menoleh ke samping. “Kak Chanyeol.”

“Ditanyain kapan sampe rumah?” tanya Jeno lagi.

Biarpun pikirannya sudah menyuruh untuk diam saja. Hatinya mendorong lebih kuat untuk bertanya dan memastikan tidak ada masalah yang terjadi pada Siyeon.

“Kak Chanyeol gak pulang katanya. Suruh cepet pulang, Jisung udah tidur di rumah.”

Jeno mengangguk-angguk mengerti. Ia kembali fokus ke jalanan luas yang hanya dilewati oleh beberapa kendaraan. Padahal tadi Jeno sudah ke rumah Jisung, hari ini dia tiga kali ke rumah Jisung, pikirnya.

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk Jeno memberhentikan mobilnya di depan rumahnya Siyeon dan Jisung. Segera dia mematikan mesinnya, menunggu dan memastikan Siyeon masuk ke dalam rumah dengan aman.

Siyeon melepas sabuk pengamannya, lalu menatap Jeno. “Makasih.”

“Iya, sama-sama.”

“Mau mampir?” tawar Siyeon sambil memegang pintu mobil Jeno.

Jeno langsung menoleh sedikit terkejut. Tetapi, beberapa detik kemudian cowok itu bertanya. “Di rumah kamu ada jahe?”

Siyeon mengangguk kemudian membuka pintu mobil Jeno. Cowok itu pun ikut turun dari mobilnya lalu mengunci mobilnya sebelum bertamu ke rumah Siyeon.

Mereka masuk ke dalam rumah dengan bunyi pintu khas seperti apartemen atau hotel. Siyeon membuka blazer milik Jeno ketika mereka sampai di ruang tamu. Cewek itu mengembalikan blazernya.

“Nih, makasih,” kata Siyeon.

Jeno menggeleng pelan. “Simpan aja dulu.”

“Oh iya, tadi ngapain tanyain jahe?” tanya Siyeon.

Jeno menelusuri seisi rumah Siyeon yang sudah terang sejak mereka menginjakkan kaki masuk ke dalam rumahnya, “Boleh ke dapur?” tanyanya.

Tidak ada percakapan lagi, Siyeon hanya menuntun Jeno ke dapur rumahnya. Di sana Siyeon mengeluarkan jahe. Sedangkan Jeno mencari panci yang pas.

Mereka tidak bertukar suara, hanya suara kran air yang menyala untuk Jeno mencuci panci dan mencuci jahenya sekaligus sebelum ia memotong-motong jahenya.

[✓] OrdinaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang